TEMPO.CO, Jakarta -Pemerintah mengakui sejumlah asumsi di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 telah banyak berubah. Asumsi harga minyak yang ditetapkan sebesar US$ 90 per barel tahun lalu, namun kini harga minyak dunia berada pada kisaran US$ 111 per barel.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menilai kenaikan harga minyak ini sebagai fenomena tidak sehat yang harus diantisipasi. “Harga minyak banyak dipengaruhi faktor geopolitik,” ujar Hatta di kantornya, Senin 13 Februari 2012.
Ia memaparkan, situasi politik, persepsi pasar, spekulasi konsumen dan faktor psikologis pasar yang menempatkan harga minyak pada posisi yang tinggi sangat mempengaruhi harga minyak. “Selain itu, ketegangan di Selat Hormuz dapat mendongkrak harga minyak ke level yang lebih tinggi lagi,” katanya.
Hatta berpendapat, situasi ini dapat mendorong pembengkakan subsidi. “Untuk itu, pemerintah harus menyiapkan upaya-upaya pencegahan,” ujarnya. Meskipun Indonesia menerima pendapatan Rp 3 triliun dari setiap US$ 1 dolar kenaikan harga ICP (harga minyak mentah Indonesia), subsidi tetap membengkak sebesar Rp 2 triliun. Angka itu didapat apabila lifting (produksi) minyak mencapai 950.000 barrel per hari.
Untuk itu, konversi bahan bakar minyak (BBM) ke gas menjadi keharusan. “Pemerintah mewaspadai gejolak harga minyak dunia,” ujar Hatta.
Ia berpendapat opsi kenaikan harga BBM bersubsidi akan tetap dibuka. Ia berkeinginan agar APBN Perubahan segera dibahas oleh Menteri Keuangan bersama Dewan Perwakilan Rakyat awal bulan depan. Hatta Rajasa menegaskan, dengan harga minyak dunia yang melambung saat ini, semua opsi harus dibuka.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menuturkan, penetapan harga atau pun kenaikan BBM bersubsidi hanya dimungkinkan dengan mempercepat pengajuan APBN Perubahan 2012. “Sampai saat ini kami masih berpatokan pada pembatasan BBM, sesuai dengan Undang-Undang APBN,” katanya.
SUBKHAN