TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Yudisial kecewa dengan putusan Mahkamah Agung mencabut delapan poin Kode Etik Hakim, yang salah satunya berisi larangan mengabaikan fakta persidangan. Juru bicara KY, Asep Rahmat Fajar, menyatakan menghormati putusan, meski sebenarnya kecewa dengan pilihan MA.
"Harapannya, KY bisa berkoordinasi dengan MA untuk reformulasi materi sehingga masih sesuai dengan "Bangalore Principles 2002" tentang Kode Etik Hakim, tapi tetap memperhatikan concern kemarin," kata Asep melalui telepon, Selasa, 14 Februari 2012.
Dari sejumlah poin yang termuat dalam "Bangalore Principles 2002", Asep menilai masalah profesionalisme dan kepatuhan atas hukum acara sejalan dengan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4, serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 Kode Etik Hakim yang dicabut. Karena itu, penghapusan kedelapan poin justru meniadakan aturan soal profesionalisme dan kepatuhan atas hukum acara.
Pekan lalu, Majelis Hakim MA pimpinan Paulus Effendi Lotulung mengabulkan gugatan sejumlah advokat terhadap delapan poin Kode Etik Hakim yang tercantum dalam Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY pada 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Poin kode etik itu sebelumnya digunakan KY untuk menilai perilaku etik hakim yang menyidang Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan berencana. Menurut KY, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pimpinan Herri Swantoro melanggar kode etik poin 10.4 karena mengabaikan fakta peradilan.
Mengenai prosedur uji materi MA, KY menyesalkan aturan yang tidak jelas dan proses yang tak transparan. Sebagai pihak termohon, menurut Asep, KY tidak diberi informasi memadai apalagi dipanggil untuk dimintai keterangan. Informasi mengenai uji materi hanya diterima KY saat gugatan diterima MA dan saat putusan diteken.
Setelah kasus ini, KY akan mengkaji apakah ada potensi konflik kepentingan dari majelis hakim MA yang memutus gugatan ini. MA sendiri, menurut KY, sebenarnya tidak berwenang mengadili uji materi, mengingat MA termasuk pihak yang membuat dan melaksanakan SKB.
“Uji materi oleh MA berpotensi konflik kepentingan. Lagi pula obyek permohonan, yakni SKB Kode Etik dan pedoman perilaku hakim, bukan merupakan peraturan perundangan yang bisa diuji MA karena bentuknya peraturan kebijakan,” ujar Asep.
ISMA SAVITRI