TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan anggota Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) mengeroyok seniman Yogyakarta Bramantyo Prijosusilo di depan markas MMI di Jalan Karanglo, Desa Pringgolayan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Rabu 15 Februari 2012. Pasalnya, aksi seni yang akan dilakukan Bram seorang diri di depan markas MMI itu dinilai mengadu domba organisasi massa Islam dan Kasultanan Yogyakarta.
“Itu bukan seni, tapi politisasi seni. Sarat nuansa SARA,” kata Sekretaris MMI, M. Shabbarin Syakur, yang dijumpai di depan markasnya, Rabu 12 Februari 2012.
Tudingan MMI tersebut dipicu adanya surat pemberitahuan pertunjukan yang ditulis Bram yang ditujukan kepada Kepala Kepolisian Sektor Kotagede dengan tembusan berbagai media massa. Markas MMI berada di Pringgolayan yang berbatasan dengan Kelurahan Kotagede, Kota Yogyakarta. Dalam surat tersebut, Bram menyebutkan misi pertunjukan seninya adalah agar ormas yang mengatasnamakan Islam di DIY menghargai budaya keislaman setempat yang anti-kekerasan dan tidak berjalan sendiri-sendiri.
“Hanya Beliau (Sultan Hamengku Buwono X) Kalifatullah yang berhak menyerukan jihad dan mengorganisasi mujahidin jika dirasa perlu,” kata Bram dalam suratnya.
Bram memilih MMI lantaran, menurut dia, belum lama ini MMI terlibat penekanan massa kepada kelompok minoritas yang dikatakan sesat. “Makanya saya datang ke MMI untuk saling mengingatkan akan kebenaran dan kesabaran dengan menolak cara-cara kekerasan,” kata Bram.
Shabbarin membantah tuduhan Bram. Bahkan dia menuding balik Bram adalah budawayan yang berakhlak tak mulia.
Bram adalah seniman yang pernah belajar di Bengkel Teater Rendra. Dia juga pernah menuding puisi Kerendahan Hati karya penyair Taufik Ismail hasil jiplakan dari Be The Best of Whatever You Are karya Douglas Malloch.
“Buktikan kalau MMI melakukan kekerasan! Selama ini tak ada masyarakat Yogyakarta yang protes keberadaan MMI,” kata Shabbarin.
Berdasarkan pengamatan Tempo, anggota MMI telah bersiaga di sisi utara dan selatan jalan Karanglo di depan markas MMI sejak sebelum pukul 09.00 WIB. Bram berencana menggelar pertunjukan sekitar pukul 09.00 WIB selama lima menit.
Sekitar pukul 09.30 WIB, Bram datang dengan menumpang kereta kuda atau dokar dari arah barat. Seniman dengan berewok lebat itu mengenakan baju lurik dengan ikat kepala, membawa keris dan kendi berisi air. Sebelumnya Bram melakukan ritual di depan pohon beringin di komplek makam raja-raja Mataram di Kotagede.
Saat kereta kuda yang ditumpangi Bram tiba di depan markas MMI, puluhan anggota MMI langsung merangsek ke arah seniman itu dan mengeroyoknya. Tubuh Bram ditarik anggota MMI. Kendi yang dibawanya jatuh ke aspal dan pecah.
Satu peleton polisi yang berjaga pun sigap mengamankan Bram. Aksi tarik-menarik antara polisi dan anggota MMI yang berusaha merebutkan Bram terjadi. Beberapa anggota MMI berhasil melancarkan pukulan ke tubuh laki-laki bertubuh besar itu.
Bram pun sempat ditarik masuk ke halaman markas MMI. Namun polisi berhasil menariknya kembali dan memasukkan ke dalam truk polisi. Lalu puluhan polisi itu mengawal Bram dan membawanya ke kantor Kepolisian Resor Bantul untuk diamankan dan dimintai keterangan.
Shabbarin membantah jika Bram dibawa ke markas untuk dihakimi secara massal. “Kami hanya mengamankannya. Kalau tidak, ada yang memukul duluan. Kami tidak akan melawan,” kata Shabbarin.
Kios-kios yang berada di sekitar markas MMI, seperti kios bengkel dan permak pakaian, langsung ditutup pemiliknya saat anggota MMI menyergap Bram. Namun mereka kembali membuka kiosnya setelah kondisi aman. “Kami takut kios-kios kami jadi sasaran,” kata Pono, pemilik kios permak pakaian.
PITO AGUSTIN RUDIANA