TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Benny Kabur Harman, menyatakan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak akan mempertimbangkan penghapusan tahanan anak. Panja akan mencari landasan kuat apakah tahanan anak layak dihapus atau tetap dipertahankan.
"Kalaupun nanti tetap dilakukan penahanan harus dengan syarat yang ketat," ujar Benny seusai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Konsorsium Reformasi Sistem Perlindungan Anak, Selasa, 21 Februari 2012.
Dalam RDP, konsorsium meminta istilah tahanan anak dihapus dari Rencana Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. "Tahanan anak itu stigma yang seakan-akan perampasan hak anak," ujar koordintaor konsorsium, Apong Herlina.
Menurut Apong, konsorsium menginginkan anak yang melakukan tindakan pidana tidak dipenjara, tapi dimasukkan ke lembaga pembinaan. Ada dua lembaga yang diusulkan, yaitu Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
LPAS didirikan khusus untuk menampung anak sementara selama proses peradilan berlangsung, sedangkan LPKA merupakan tempat anak didik pemasyarakatan menjalani masa pidana. Selama pembinaan anak lembaga wajib memberikan pendidikan, pelatihan keterampilan, pengawasan, dan pendampingan agar hak anak sesuai dengan undang-undang tetap terpenuhi.
LPAS dan LPKA, lanjut Apong, dapat dilakukan di luar atau di dalam Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial milik pemerintah atau milik masyarakat. Lembaga ini bukan lembaga baru sebagai pengganti rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, tapi untuk meningkatkan koordinasi lembaga hukum dan lembaga sosial. Kalau anak yang sudah dibina di LPAS dan LPKA tidak bisa dikendalikan, baru dititipkan di lembaga pemasyarakatan.
Untuk masa penitipan anak di lapas, konsorsium juga mengusulkan agar anak yang boleh ditempatkan di lapas saat usianya minimal 16 tahun. Alasannya, umumnya program wajib belajar sembilan tahun baru dipenuhi setiap anak pada umur 16 tahun.
IRA GUSLINA