TEMPO.CO, Jakarta - Jatuhnya harga saham di bursa domestik dan tingginya harga dolar Amerika Serikat di pasar Non-Deliverable Forward (NDF) membuat rupiah sempat terpuruk hingga di atas 9.100. Padahal, di tengah mengendurnya tekanan dolar AS, seharusnya rupiah bisa menguat.
Bank Indonesia tetap konsisten menjaga mata uangnya, sehingga rupiah mampu berbalik menguat. Walhasil, di transaksi pasar uang akhir pekan ini, Jumat, 24 Februari 2012, rupiah ditutup hanya melemah tipis 3 poin (0,01 persen) ke 9.048 per dolar AS.
Kepala Riset Treasury Bank BNI Nurul Eti Nurbaeti menjelaskan ada aliran dana keluar dari bursa saat investor asing mencatat penjualan bersih yang cukup besar dan membuat rupiah sempat terseok. Intensnya pembicaraan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi membuat investor keluar dari mata uang rupiah dan mengalihkannya ke dalam bentuk dolar AS.
Para investor mencoba melakukan penyesuaian dan antisipasi dampak kenaikan harga BBM, sehingga membuat harga saham dan rupiah kembali mengalami tekanan. “Jika harga bahan bakar dinaikkan, maka target inflasi pemerintah dalam asumsi makro 2012 bisa terlampaui,” kata Nurul.
Dalam jangka pendek dampaknya akan sangat terasa, yakni harga barang akan melambung dan memicu inflasi tinggi. Daya beli masyarakat juga akan berkurang, sehingga bisa mengganggu pertumbuhan domestik. Sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi domestik.
Namun, Nurul mengatakan, dalam jangka panjang ini bisa memberikan dampak positif asalkan kompensasi dari turunnya subsidi BBM dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, sehingga sektor riil lebih bergerak dan bukan bersifat konsumtif.
VIVA B. KUSNANDAR