TEMPO.CO , Jakarta: Nama Tan Harry Tantono belakangan santer diberitakan lantaran menjadi korban pembunuhan. Ia ditemukan tewas dengan luka tusukan di sekujur tubuhnya di kamar 2701 Swiss-Bel Hotel, Jakarta Pusat.
Pembunuhan yang terjadi pada Kamis 26 Januari 2012 lalu itu melibatkan belasan orang kelompok Kei. Kelompok ini terkenal sebagai pentolan dalam peta bisnis pengawalan, jasa pengamanan, dan penagihan utang di Ibu Kota.
Enam orang dari kelompok Kei ditahan polisi dan dijadikan tersangka kasus pembunuhan berencana. Salah satu di antaranya adalah pimpinan mereka, John Kei. Lima sisanya adalah Candra, Tuce, Ancola, Dani, dan Kupra.
Lalu siapa sebenarnya Tan Harry Tantono alias Ayung itu? Pengacara Ayung, Carell Ticualu, mengatakan Ayung adalah pengusaha lurus yang mudah akrab dengan siapa saja serta punya ambisi besar.
“Dia kalau mau berbisnis tidak ingin melanggar hukum,” kata Carrel di Jakarta, 24 Februari 2012.
Basis usahanya adalah pabrik besi baja yang ia dirikan bersama tiga orang rekannya pada Desember 2004. Awalnya perusahaan yang ia dirikan bernama PT Sanex Steel Indonesia, kemudian berubah menjadi PT Power Steel Mandiri seiring dengan perubahan komposisi pemegang saham. Ia menguasai 30 persen saham ketika perusahaan tersebut baru dibentuk dan menjabat komisaris utama.
Pabrik yang terletak di daerah Balaraja, Tangerang, Banten, mengolah besi-besi tua, mengubahnya jadi bijih besi, dan memproduksi besi-besi baru. “Saya tidak tahu asetnya berapa. Tapi kalau Anda lihat sendiri pabriknya besar sekali,” kata Carrel. “Pabriknya diperhitungkan dalam peta bisnis pabrik besi."
Selain punya pabrik besi, Ayung juga menjajaki bisnis lain. Di antaranya pabrik pembuatan pipa besi dan tambang permata di Kalimantan Barat. “Tapi saya tidak begitu terlibat di bisnis lain,” katanya.
Carrel mengenal Ayung sebagai pengusaha yang ambisius. Beberapa kali Ayung bercerita kepada Carrel bahwa ia ingin menggarap proyek jembatan Selat Sunda. Ayung yakin bisa mendapatkan proyek tersebut dan menawarkan harga yang menarik bagi pemerintah. “Dia bilang bisa mengerjakan jembatan itu dengan modal Rp 50 triliun,” katanya. "Saya bisa menawar lebih murah dari yang lain,” kata Carrel menirukan Ayung.
Ambisinya untuk menjadi pengusaha besar membuat dia bergaul dengan siapa saja. Mulai dari petinggi partai, pejabat sekelas menteri, hingga preman.
Carrel mengatakan Ayung juga sering memberikan sumbangan pada partai-partai. “Kalau ada acara-acara, dia suka bantu biaya,” kata Carrel.
Carrel mengatakan Ayung lahir di Surabaya pada 1961. Kemudian ia diboyong oleh keluarganya ke Cina. Tahun 2000-an Ayung kembali ke Indonesia. Sebelum mendirikan perusahaan ia menjadi warga negara Indonesia.
Carrel mengatakan Ayung rajin bolak-balik Cina untuk melakukan lobi dengan bank dan pengusaha di sana. “Sebulan sebelum dibunuh ia baru dari Cina,” katanya. Ia juga rajin ke Singapura, melawat keluarganya yang tinggal di sana. Dia punya empat anak dan satu istri. “Anak yang paling tua berumur 17 tahun, dan paling muda 4 tahun,” kata Carrel.
Setelah pembunuhan, keluarga menyerahkan penghitungan aset perusahaan Ayung kepada tim kuasa hukum. Keluarga tidak berniat meneruskan bisnis Ayung. “Keluarga minta sahamnya dijual saja,” kata Carrel.
Kini polisi masih mengusut pelaku dan motif pembunuhan Ayung. Ia pergi meninggalkan misteri. Ia dimakamkan di Surabaya pada 1 Februari 2012.
ANANDA BADUDU
Berita Lain
Enam Anak Buah John Kei Masuk DPO Polisi
Polisi Akan Cek Prosedur Penangkapan John Kei
Ada 'Order' Pembunuhan Direktur Power Steel?
Hubungan John Kei dan Alba Fuad
Polisi: Ada Belasan Catatan Kriminal John Kei
Hotel C'One Sepi Setelah John Kei Ditangkap