TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Peristiwa bersejarah "Yogya Kembali" yang berlangsung 29 Juni 1949 dianggap layak diperingati sebagai peristiwa nasional. Ide itu muncul menjelang peringatan 63 tahun "Serangan Oemoem 1 Maret" dan "Yogya Kembali" di Kota Yogyakarta. "Yogya Kembali diganti saja dengan Indonesia Kembali," kata Penasehat Panitia Peringatan Herry Zudianto, Senin 27 Februari 2012.
Sejumlah kegiatan direcanakan digelar di Kota Yogyakarta untuk memperingati dua peristiwa sejarah itu. Diawali dengan kerja bakti di tetenger SO 1 Maret 1949 di Keben Keraton Yogyakarta serta sarasehan di monumen SO 1 Maret, Rabu (29/2), hingga Karnaval Kejuangan di Jalan Malioboro dan Peringatan Yogya Kembali pada 24-29 Juni mendatang.
Yogya Kembali adalah peristiwa bebasnya Yogyakarta yang saat itu ibukota Republik Indonesia pada 1949 dari tentara pendudukan Belanda. "Yang kembali adalah kedaulatan Indonesia, bukan hanya Yogya," kata Herry, bekas Wali Kota Yogyakarta.
Menurut dia, bahkan selama ia menjabat sebagai wali kota pun, hingga 2011 lalu, peringatan Yogya Kembali hanya dilakukan segelintir orang pelaku sejarah yang sudah berusia lanjut. “Hanya sedikit generasi muda,” ujar Herry. Tak heran, peringatan peristiwa itu tak lebih besar dari peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia, misalnya pertempuran 10 November di Surabaya yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Ketua Panitia Peringatan S.Sudjono mengatakan tak hanya memperingati dua peristiwa sejarah yang terjadi di Yogyakarta, panitia sekaligus melakukan peringatan seabad Sultan Hamengkubuwono IX pada acara sarasehan di monumen SO 1 Maret, Rabu malam besok. Mendiang raja Yogyakarta itu merupakan arsitek peristiwa SO 1 Maret 1949. "(Peringatan ini) tidak ada kaitannya dengan isu RUU Keistimewaan Yogyakarta," kata ketua Badan Pengurus Cabang Paguyuban Wehrkreis (Daerah Perlawanan) III Kota Yogyakarta itu.
Menurut dia, peristiwa itu selalu diidentikkan dengan nama bekas Presiden Soeharto sebagai pemimpin penyerbuan. Tapi, katanya, keberhasilan penyebuan tetap andil masyarakat. "Ngerso Dalem (HB IX) yang memegang pemerintahan, sementara Soeharto yang punya pasukan," katanya.
ANANG ZAKARIA