TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Komisi Perindustrian dan Perdagangan, Dewan Perwakilan Rakyat, Airlangga Hartanto mengatakan bahwa Peraturan Menteri Keuangan No. 255 Tahun 2011 sebagai revisi dari PMK 147 Tahun 2011 tentang kawasan berikat masih harus disempurnakan. Pasalnya, kalangan industri mengalami kesulitan jika harus mengekspor 75 persen produknya dan menjual 25 persen di dalam negeri.
"Situasi krisis global menyulitkan industri untuk mencari pasar baru," kata Airlangga, Selasa, 28 Februari 2012.
Pada awal bulan ini, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan perusahaan yang masuk kawasan berikat harus mengekspor produk olahannya. Hal tersebut lantaran bahan baku yang diimpor tidak dikenakan bea masuk dan pajak lainnya.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan itu, industri pada kawasan berikat harus mengekspor 75 persen produk olahannya dan sisanya diizinkan masuk pasar dalam negeri.
Menurut Airlangga, tidak mudah untuk memindahkan industri dalam suatu kawasan khusus. Terutama jika terkait dengan outsourcing-nya, industri seperti garmen dan sepatu akan kesulitan. "Pesanan mereka itu tergantung musim.”
Selain itu, kebutuhan strategis dalam negeri mencapai 49 persen, sementara yang dialokasikan hanya 25 persen. Ia mengatakan, dengan porsi 75 persen produk harus diekspor, industri akan kesulitan mencari pasar baru. "Kita tidak ingin membuat industri yang sudah ada menjadi terbengkalai," katanya.
Pihak Kementerian Perindustrian yang dihadiri oleh Direktur Jenderal Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, Arriyanto Sagala menilai kebijakan untuk memindahkan pabrik kurang tepat. Pemindahan pabrik berarti relokasi seluruh aset. "Berdampak pada pemutusan hubungan kerja dan hilangnya order investasi yang besar," ujarnya.
Proporsi 75 persen dan 25 persen pada saat ini juga dinilai kurang tepat. Senada dengan Airlangga, Arriyanto mengatakan bahwa kondisi tekstil Eropa dan Amerika sedang tidak stabil. "Waktunya kurang tepat. Mencari pasar baru akan butuh waktu yang lama. Hal ini malah mematikan industri dalam negeri.”
Sementara Deputi Bidang Perindustrian dan Perdagangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Edy Putra Irawadi mengatakan sejak diterbitkan PMK 255/2011, belum ada pelaku usaha yang merasa tidak puas. Aturan itu dinilai mampu mengamankan pasar domestik. "Saat ini ada 1575 kawasan industri yang sudah mendapat izin operasi," kata Edy.
Namun demikian ia menilai tidak mudah merelokasi pabrik karena terkait ketersediaan bahan baku, biaya, dan risiko lain. "Apabila masa transisi lima tahun tidak cukup, akan dibenahi lagi nanti," ucapnya.
AYU PRIMA SANDI