TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat, Ma'mur Hasanuddin, menilai program-program diversifikasi pangan yang dicanangkan pemerintah cenderung bersifat retorika tanpa aksi nyata.
"Diversifikasi pangan akan efektif apabila industri makanan dan minuman kita telah mapan," ujar dia hari ini, Kamis 1 Februari 2012.
Ukuran kemapanan, ucapnya, adalah mampu mengolah ratusan jenis pangan bermutu tinggi dan dapat diproduksi dalam negeri. Dengan adanya industri yang mapan, dapat dipastikan pangan dapat disimpan secara praktis dan dalam kurun waktu lama meski tanpa pengawet.
Salah satu contoh industri pangan yang telah mapan adalah industri penghasil beras. Beras mudah diolah menjadi nasi dan tahan disimpan berbulan-bulan. "Berbeda dengan jagung, apalagi singkong, talas, atau ubi. Komoditas-komoditas pangan tersebut lebih cepat busuk dan agak sulit menyimpannya.".
Dia menuturkan tantangan-tantangan industri pangan untuk mengolah pangan menjadi tugas pemerintah dan harus dituangkan dalam rancangan undang-undang pangan yang kini sedang dibahas. “Hampir mustahil diversifikasi pangan berjalan benar bila industri pangan belum mapan," katanya.
Bukti lain dari ketidakseriusan program diversifikasi pangan adalah minimnya pengembangan industri pangan olahan. Ditambah dengan kebijakan impor yang menunjukkan pemerintah tidak bisa mengelola pangan negara.
Diversifikasi yang hendak diterapkan dengan cara memaksa melalui kekuatan pemerintah hanya akan berdampak perlawanan dari masyarakat. Sebagai contoh kasus Kota Depok yang menerapkan larangan memakan nasi sehari dalam sepekan.
"Meski tujuannya baik, masyarakat tidak dapat dipaksa," ujarnya.
Kebijakan itu dinilai rawan perlawanan, baik secara spontan maupun secara politis. “Semoga RUU Pangan yang sedang dibahas kali ini akan memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap pengelolaan pangan nasional," kata dia.
ROSALINA