TEMPO.CO, Jakarta - Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung membenarkan ada tiga dosen kepergok menyontek naskah untuk promosi menjadi guru besar. Meski begitu UPI tidak memecat ketiga dosen itu. Mereka hanya mendapat sanksi. "Pangkat dan jabatan diturunkan, juga menggugurkan kenaikan promosi guru besar mereka," kata Ketua Senat Akademik UPI, Syihabuddin, Jumat, 2 Maret 2012.
Sanksi tersebut diputuskan dalam sidang senat yang digelar di gedung University Center UPI. Pihak kampus, kata Syihabuddin, merasa prihatin dan menyesalkan terjadinya kasus plagiarisme itu. "Yang bersangkutan masih bisa memberikan kuliah," kata dia.
UPI tak menjelaskan kronologi kasus penjiplakan, nama dosen, dan tingkat kesalahannya. Syihabuddin menolak menjelaskan. Begitu pula dengan Pembantu Rektor UPI, Idrus Effendi. Dia hanya membacakan hasil keputusan senat akademik.
Sebelumnya beredar surat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bernomor 24/E/T/2012 tertanggal 4 Januari 2012. Isinya tentang kebijakan layanan kenaikan pangkat atau jabatan akademik dosen. Surat yang ditandatangani Dirjen Dikti Djoko Santoso itu ditujukan kepada pemimpin perguruan tinggi negeri dan koordinator perguruan tinggi swasta di Indonesia.
Surat itu juga memuat sejumlah peraturan tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menyatakan tidak akan melayani usulan kenaikan pangkat atau jabatan akademik dosen dari PTN atau Kopertis.
Kebijakan ini jika pimpinan PTN atau koordinator Kopertis yang tidak sungguh-sungguh atau belum menindaklanjuti permintaan Dirjen Dikti dalam surat Nomor 190/D/T/2011 tanggal 16 Februari 2011. Di lembar kedua, tercantum 21 perguruan tinggi negeri di Indonesia, seperti Universitas Hasanudin, Andalas, Universitas Indonesia, Brawijaya, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Pendidikan Indonesia.
Djoko Santoso belum bisa dihubungi karena sedang ke luar negeri. Adapun Koordinator Kopertis Wilayah Jawa Barat dan Banten Hakim Abdul Halim membenarkan surat itu resmi dari Dirjen Dikti. Namun isinya tak hanya peringatan soal adanya plagiat karya akademik untuk promosi guru besar dari sejumlah kampus, tapi menyangkut masalah administratif.
Khusus di wilayah Kopertis, kata Hakim, tidak ada kasus plagiat. "Pada kurun 2004-2009, tiap tahun ada 1-2 dosen yang terbukti plagiat, sekarang pengawasannya makin ketat," ujar dia.
Dari segi keilmuan, kata Hakim, plagiat tidak boleh terjadi. Namun masih ada dosen yang berusaha mengganti nama pembuat naskah ilmiah yang sudah dipublikasikan, atau mengambil tesis yang tidak dipublikasikan. Bisa juga, kata Hakim, terjadi otoplagiat, yaitu penulis menerbitkan lagi tulisan ilmiahnya di tempat lain.
ANWAR SISWADI