TEMPO.CO, Jakarta - Pada perdagangan akhir pekan lalu, rupiah sempat menyentuh 9.200 per dolar Amerika Serikat (AS) sebelum ditutup ke level 9.088. Dalam sepekan, rupiah melemah 44 poin (0,44 persen) dari posisi pekan sebelumnya.
Pelaku pasar uang dari Bank CIMB Niaga, Emmanuel K. Krisnijayanto, menjelaskan, awal bulan membuat permintaan dolar Amerika tidak terlalu banyak. Kondisi ini diperkuat oleh sikap Bank Indonesia yang tetap konsisten berada di pasar sehingga mampu menahan pelemahan rupiah lebih jauh.
Naiknya indeks harga saham ke level 4.000 tidak mampu memicu rupiah untuk menguat. Hal ini disebabkan oleh dana asing yang masuk ke bursa berasal dari domestik, dan bukan dari luar negeri. "Jadi, selama belum ada aliran dana asing ke pasar finansial domestik, penguatan rupiah masih cukup berat," ujarnya.
Telah disetujuinya pemberian dana talangan bagi Yunani senilai 130 miliar euro belum mampu menghilangkan kekhawatiran krisis utang di negara itu.
Terdepresiasinya mata uang tunggal Uni Eropa dan yen membuat dolar AS kembali berjaya. Indeks dolar AS terhadap enam mata uang rival utamanya kembali naik 0,61 poin (0,77 persen) ke level 79,4. Menguatnya dolar AS membuat tekanan terhadap rupiah tetap tinggi.
Intervensi yang dilakukan oleh bank sentral Jepang (BoJ) agar mata uangnya melemah serta adanya rencana pembelian saham perusahaan otomotif Australia oleh perusahaan Jepang dengan nilai yang cukup besar membuat yen terpuruk hingga mendekati level 82 per dolar AS.
Pekan ini rupiah akan ditransaksikan di kisaran 9.050-9.150 per dolar AS. Belum stabilnya kondisi di Eropa serta kekhawatiran tingginya inflasi masih akan membebani pergerakan rupiah.
PDAT | VIVA B. KUSNANDAR