TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus membatasi dengan ketat kepemilikan media dengan mendefinisikan ulang batasan oligopoli maupun monopoli. Usul ini merupakan salah satu rekomendasi tim peneliti tentang “Kebijakan Media dan Industri Media di Indonesia”.
"Kami juga mengusulkan agar dijalankan sistem siaran berjaringan dan dikembalikannya wewenang Komisi Penyiaran Indonesia seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Penyiaran," kata Shita Laksmi, Program Officer HIVOS Regional Office Asia Tenggara, kemarin.
Shita menyatakan, pihaknya akan menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) dan HIVOS ke DPR, yang sedang membahas revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Kemarin hasil penelitian yang dikoordinasikan oleh Yanuar Nugroho dari Universitas Manchester itu dipaparkan ke publik. Hasil penelitian itu memetakan 12 media besar yang menguasai hampir semua kanal media di Tanah Air.
Para penguasa media tersebut adalah Grup MNC, Kompas Gramedia, Jawa Pos, Mahaka Media, Elang Mahkota Teknologi, CT Corp, Visi Media Asia, MRA Media, Femina, Tempo Inti Media, dan Beritasatu Media Holding.
Tim peneliti menyimpulkan, oligopoli media yang terjadi saat ini sudah pada tahap membahayakan hak warga terhadap informasi. "Karena media dikelola sebagai bisnis yang hanya mewakili kepentingan pemilik dan kekuasaan yang dimilikinya," ujar Shita.
Tim peneliti memetakan keterkaitan para pemilik modal dengan kekuatan politik. Misalnya Surya Paloh (Grup Media) dan Hari Tanoesoedibjo (Grup MNC) dengan Partai Nasional Demokrat. Lalu Aburizal Bakrie (Visi Media Asia) dengan Partai Golongan Karya.
Sulfikar Amir, dosen di Nanyang Technological University, menengarai kepentingan kekuasaan masuk dengan cara halus ke informasi yang disiarkan media. Banjir informasi semacam ini, ujarnya, menjadi jenis kepatuhan baru seperti yang pernah terjadi di era rezim Soeharto.
Yanuar Nugroho mempertanyakan apakah media saat ini masih memiliki watak publik. Di negara-negara yang waras, kata dia, gagasan hidup bersama harus dirawat oleh publik. “Bukan oleh kepentingan pasar.”
Herry-Priyono menilai kondisi saat ini membuat kita berada dalam jebakan. Namun dia mengajak semua pihak mencari jalan keluar, yang salah satunya dengan reedukasi para jurnalis yang selama ini tersesat pada logika sebagai employment. “Dorong mereka meneguhkan komitmen sebagai jurnalis untuk kebaikan publik,” kata dosen STF Driyarkara ini.
UNTUNG WIDYANTO