TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pemerintah menggelontorkan dana bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak dinilai hanya mengulang kesalahan masa lalu. "Ini seperti keledai jatuh di lubang sama," ujar pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, saat dihubungi, Kamis, 15 Maret 2012.
Menurut Ari, pemberian BLT periode sebelumnya saja sudah memunculkan berbagai masalah. Salah satunya, pemberian BLT dinilai merusak paradigma penanggulangan kemiskinan. Sebab masyarakat menjadi bergantung pada pemerintah dengan pemberian dana tunai tersebut. "Seharusnya pemerintah memperkuat masyarakat, bukan malah membuat masyarakat jadi tergantung," ujarnya.
Pemberian BLT ini juga memunculkan ketidakpercayaan antarmasyarakat, antara masyarakat dan perangkat desa, dan lebih jauh lagi antara masyarakat dan pemerintah. "Ini merusak modal sosial," ujar Ari.
Pemberian BLT pun dinilai berimplikasi langsung pada masalah politik. Pasalnya, kebijakan ini banyak digunakan sebagai bahan kampanye partai politik. Ari menuturkan, pada 2009 lalu, ada anggapan pemberian BLT merupakan kemurahan hati salah satu parpol sehingga menguntungkan partai tersebut. "Ini bisa memunculkan kerawanan politik," ucapnya.
Sebelumnya pemerintah berniat memberikan dana BLT sebagai kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi pada 1 April mendatang. Dana tersebut akan diberikan pada 18,5 juta rumah tangga miskin atau sekitar 74 juta jiwa. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, kemarin, bantuan ini akan diberikan sebesar Rp 150 ribu per keluarga selama sembilan bulan. Dana akan disalurkan melalui jaringan kantor PT Pos (Persero) di seluruh Indonesia.
NUR ALFIYAH