TEMPO.CO, Jakarta -Lembaga konseling Personal Growth menemukan fenomena psikis baru yang mengkhawatirkan pada anak-anak. Empat dari lima anak yang datang berkonsultasi mengalami indikasi stres atau tekanan jiwa berat.
"Anak-anak yang stres itu terlihat secara fisik, emosi, psikologis juga sosial,"kata Direktur Personal Growth Ratih Ibrahim MM. Psi saat diskusi bersama wartawan di Gedung Citi Bank, Jakarta, Selasa 20 Maret 2012.
Menurut Ratih, pihaknya melayani konseling ribuan anak-anak dari usia dua tahun hingga 15 tahun. 40 persen kliennya masih balita (usia di bawah lima tahun) dan 60 persen anak usia sekolah.
Tanda-tanda stres pada anak-anak ini, kata dia, bisa dilihat dari sikap yang rewel, mudah tersinggung, pemarah, kehilangan minat, percaya diri luntur. Mereka juga terlihat gelisah, uring-uringan, dan kadang menarik diri dari pertemanan.
Setelah didalami, pihaknya menemukan beberapa faktor penyebab stres pada anak ini. Pertama, gaya pengasuhan orang tua yang kurang tepat, baik yang sifatnya otoriter, kurang demokratis atau abai terhadap anak. "Faktor lain tekanan dari lingkungan sosial dan stimulasi orang tua yang juga keliru. Ini harus dibenahi,"ujarnya.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) Arist Merdeka Sirait sepakat dengan mulai "mewabah"nya gejala buruk tersebut pada anak-anak sekarang ini. KPAI mencatat sepanjang 2011 terjadi peningkatan berbagai bentuk pengabaian dan pelanggaran hak anak yang juga menjadi penyebab stres. Sepanjang tahun 2011 terjadi 2.386 kasus pelanggaran atau 200 kasus setiap bulan. Angka ini meningkat 98 persen dibanding tahun sebelumnya.
"Hasil pantau dan konseling kami menunjukkan 82,9 persen penyebab stres anak berasal dari minimnya komunikasi orang tua, ditambah padatnya aktifitas anak sehingga hak bermain dan rekreasi anak sangat kurang,"kata Arist.
Selain itu, lanjut dia, meningkatnya stres terhadap anak ini juga bisa dilihat dari banyaknya upaya percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak. Jumlah yang tercatat di KPAI selama 2011 sebanyak 182 percobaan bunuh diri.
"Lima diantaranya dilakukan balita, 2 meninggal, dan 3 masih bisa tertolong. Itu yang diadukan kepada kami, di lapangan mungkin lebih banyak,"kata dia.
Arist mengingatkan, selain karena kegagalan orang tua dalam mendidik anak, meningkatnya stres pada usia belia ini juga terjadi karena kegagalan pemerintah dalam menyelamatkan anak-anak tersebut. Salah satunya dengan kebijakan pemerintah memasukkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dalam kurikulum pendidikan.
"Padahal balita itu usia untuk pengenalan atau sosialisasi saja, tapi di kurikulum PAUD anak-anak harus bisa membaca baca dan tulis. Ini yang membuat, anak, ibu, bapak, bahkan guru stres,"ujarnya.
MUNAWWAROH