TEMPO.CO, Jakarta -Teddy, sebut saja begitu, fungsi ginjalnya tinggal 20 persen. Meski tak pernah lagi melakukan cuci darah atau dialisis dengan mesin hemodialisis di rumah sakit, kondisi tubuh pengidap gagal ginjal tahap akhir ini terlihat oke. Rahasianya, warga Menteng Dalam, Tebet, Jakarta, ini rutin melakukan cuci darah dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau Dialisis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan.
"Saya sudah empat tahun ini menggunakan CAPD," kata Teddy kepada Tempo, Selasa lalu. "Sejauh ini, hasilnya bagus. Tak ada masalah di tubuh saya." Sebagai pengguna CAPD, jika perut Teddy disibak, di bawah pusarnya akan terlihat selang plastik kecil (kateter) yang tertanam di situ. Selang sepanjang 35 sentimeter itulah yang dipakai untuk melakukan dialisis, yakni membuang semua produk tubuh yang tak berguna dari darah.
Pengidap gagal ginjal tahap akhir seperti Teddy memang memiliki masalah khas, yakni zat-zat sisa yang tidak bermanfaat lagi bagi tubuh tidak dapat dikeluarkan dan akhirnya meracuni tubuh. Untuk menghindari kondisi seperti itu, ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan agar kualitas hidupnya tak makin memburuk. Pilihannya adalah melakukan cangkok ginjal, hemodialisis (cuci darah) di rumah sakit, atau memasang CAPD.
Berbeda dengan cuci darah biasa, CAPD memungkinkan dilakukan oleh si pasien sendiri alias mandiri. Karena itu, ke mana pun Teddy pergi, ia selalu membawa tabung berisi cairan dialisat. Dalam sehari, ia mesti mengganti tabung empat kali atau setiap 4-6 jam. "Saat keluar kota, di mobil harus tersedia kantong dialisat. Jika saatnya dialisis, ya, saya berhenti sebentar untuk mengganti cairan, lalu melanjutkan perjalanan," katanya.
CAPD dirasakan Teddy jauh lebih praktis dibanding cuci darah di rumah sakit yang pernah dia jalani selama 9 tahun. Untuk sekali cuci, wiraswasta ini harus meluangkan lima jam waktunya di rumah sakit. Padahal, dalam sepekan, ia harus cuci darah hingga tiga kali. "Kalau dari segi biaya tidak terlalu berbeda. Setiap bulan kira-kira butuh Rp 7 juta," kata Teddy, yang mengaku menjadi peserta asuransi kesehatan.
Baca Juga:
Dengan berbagai kelebihan itulah pada The 3rd Indonesian Peritoneal Dialysis College, di Jakarta, Sabtu-Ahad dua pekan lalu, para dokter yang tergabung dalam Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) mengkampanyekan kembali penggunaan CAPD. Aslinya, metode ini pertama kali diperkenalkan di Tanah Air pada 1990.
"Kami selalu menganjurkan agar pada saat pasien menjalani dialisis, penjelasan soal CAPD kita usung menjadi bagian yang pertama," kata dr. Maruhum Bonar H. Marbun, ketua panitia, kepada wartawan sehari sebelum hajatan itu digelar. Selain soal kepraktisan, CAPD layak dilirik karena sarana untuk hemodialisis di Indonesia sangat terbatas. Padahal jumlah pasien gagal ginjal terus meningkat, sejalan dengan meroketnya penderita diabetes dan hipertensi di negeri ini.
Menurut Dokter Dharmeizar, Ketua Umum Pernefri, tindakan paling ideal bagi pasien gagal ginjal tahap akhir adalah cangkok ginjal. Namun, selain biayanya sangat mahal, mencari donor ginjal tak gampang. Ihwal hemodialisis, selain mesinnya terbatas, ia menuturkan, sumber daya manusia yang menguasai teknik ini sedikit. Karena itu CAPD dinilai merupakan salah satu pengganti terapi ginjal yang ideal untuk daerah yang kurang sarana unit hemodialisis dan kekurangan sumber daya manusia.
"Hasil akhir hemodialisis tak jauh berbeda dengan CAPD. Itu sebabnya kita perlu galakkan lagi penggunaan CAPD," kata Dharmeizar. Apalagi, menurut data Pernefri, penggunaan CAPD masih sangat timpang dibanding hemodialisis. Saat ini CAPD baru dijalankan oleh sekitar 1.230 pengidap gagal ginjal tahap akhir, sedangkan hemodialisis sudah dipakai lebih dari 20 ribu orang dengan gangguan ginjal yang sama.
DWI WIYANA