TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi I DPR Helmi Fauzy yakin komisinya tak akan mencabut tanda bintang dalam anggaran pembelian enam unit pesawat tempur jenis Sukhoi SU-30MK2. Hal itu berarti pembayaran sebesar US$ 470 juta melalui fasilitas kredit ekspor ke JSC Rosoboronexport yang merupakan perwakilan Pemerintah Rusia di Jakarta, terancam ditunda.
“Implikasinya pembayaran ditangguhkan,” ujarnya dalam diskusi di Menteng, Jakarta, Rabu 28 Maret 2012. Menurut Helmi, banyak hal yang membuat DPR menangguhkan pembayaran Sukhoi, meskipun kontrak pembeliannya sudah diteken 29 November 2011 lalu. Salah satunya skema pembayaran yang seharusnya menggunakan skema kredit negara (state credit) bukan dengan kredit ekspor.
Helmi mengatakan dalam rapat pemerintah dengan DPR Senin lalu, Komisi I sudah meminta pemerintah untuk melakukan perubahan skema pembayaran tersebut. “Setelah kita baca perjanjiannya, list barang-barang yang dibeli ini terbuka peluang untuk penggunaan state credit pengadaan Sukhoi. Sekarang kita tunggu niat baik pemerintah,” ujarnya.
Politisi PDI Perjuangan ini mengatakan ada beberapa keuntungan bagi Indonesia jika menggunakan skema pembayaran kredit negara. Pertama karena biaya lebih murah daripada kredit ekspor dengan bunga yang rendah. Lalu, tingkat pengembalian pinjaman pun lebih panjang. "Dan ini juga memastikan tidak ada broker, kerja sama G to G," kata dia.
Selain itu, ia menilai kontrak pengadaan Sukhoi ini tidak transparan dan terjadi tiba-tiba. Padahal sesuai undang-undang, DPR seharusnya dilibatkan dalam pembahasan pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) karena peran DPR dalam fungsi anggaran.
"Kita tidak tahu sudah tanda tangan kontrak. Kita juga tidak diberi akses informasi hingga satuan tiga, spesifikasinya, jenis, ukuran dan sebagainya, dari barang dan jasa yang dibeli," ujarnya.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan sepakat pembelian Sukhoi sebaiknya menggunakan kredit negara karena alasan-alasan tersebut. Selain itu, pihaknya juga menemukan ketidakwajaran anggaran dalam pengadaan Sukhoi yang terkesan sangat tertutup kali ini.
"Hampir semua data pengadaan alutsista tidak bisa diakses. Bagaimana kita bisa membandingkan dengan spek lain, jika kita tidak tahu sama sekali isinya," ujarnya.
Adnan menyatakan pihaknya tak memiliki data komprehensif mengenai pembelian enam Sukhoi Rusia ini karena informasi Kementerian Pertahanan yang sangat terbatas. Namun pihaknya berani menyebut ada ketidakwajaran berdasarkan hitungan kasar dengan membandingkan pembelian Sukhoi di tahun sebelumnya.
"Kita sebenarnya menguji seberapa besar Kemenhan bisa menjadi lebih terbuka. Akhirnya mereka mengatakan bahwa anggaran tersebut tidak hanya untuk Sukhoi, tapi engine dan sebagainya," kata dia.
Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Abdul Rahman Ma’mun mengatakan pihaknya siap memfasilitasi keinginan DPR dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mempermasalahkan tertutupnya informasi pengadaan alutsista, khususnya pembelian Sukhoi oleh Kemenhan.
"KIP tidak punya kewenangan tanpa pengaduan, tapi kalau ada pertanyaan dalam bentuk konsultasi, kita respons. Kita beri surat edaran, seperti halnya RKA dan DIPA wajib diumumkan dan ditindaklanjuti Kementerian Keuangan," kata dia.
MUNAWWAROH