TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan menyatakan masih banyak obat pendukung HIV yang belum diproduksi produsen obat dalam negeri. Padahal, banyak penderita HIV yang mengalami resistensi terhadap obat utama yang diberikan terhadapnya dan membutuhkan obat-obatan yang tidak diproduksi di dalam negeri itu.
"Ini tantangan untuk mengatasi resistensi pasien terhadap obat utamanya," kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Lucky S. Slamet saat ditemui di kantornya Senin, 2 April 2012. Dana yang disediakan oleh pemerintah untuk menyediakan obat HIV juga terbatas.
"Itulah yang menjadi masalah utama dalam pemberian obat bagi penderita HIV" kata dia. Ia menganggap pemerintah perlu menyediakan seluruh jenis obat antiretriviral untuk mengobati HIV walau dengan dana terbatas. "Namun, masalah pendanaan adalah domain Kementerian Kesehatan," ujarnya.
Ia hanya dapat berharap Kementerian dapat menciptakan terobosan lain untuk menyediakan obat-obatan untuk penderita HIV yang belum diproduksi di Indonesia.
Selama ini, kata dia, obat bagi penderita HIV, yaitu antiretroviral, telah diproduksi oleh produsen obat dalam negeri sehingga ketersediaannya tidak perlu dikhawatirkan.
Ia menjelaskan terdapat lima jenis obat HIV yang telah diproduksi oleh Kimia Farma. Adapun obat HIV jenis lainnya yang tidak ada di Indonesia biasanya dipasok melalui donasi oleh produsen-produsen obat luar negeri.
Menurut dia, pemerintah perlu membuat skema pengobatan HIV yang terarah. Di antaranya dengan melakukan kajian seberapa banyak pasien penderita HIV, berapa banyak obat dan jenisnya yang dibutuhkan, bagaimana ketersediaannya serta cara penyalurannya. "Hal ini membutuhkan perencanaan," kata dia.
RAFIKA AULIA