TEMPO.CO, Jakarta - Diam-diam, sebelum mendepak Partai Keadilan Sejahtera dari Sekretariat Gabungan Partai Politik Pendukung Pemerintah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirim pesan pendek kepada Hilmy Aminuddin. "Ustad, saya mau salat istikharah dulu," demikian isi pesan Presiden kepada Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera itu.
Sabtu dinihari dua pekan lalu itu, Fraksi PKS ikut menolak kenaikan harga bahan bakar minyak dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Sikap itu berseberangan dengan koalisi pemerintah, tempat PKS juga bergabung. Pada kabinet Yudhoyono, partai itu memperoleh jatah tiga kursi menteri.
Laporan majalah Tempo pekan ini mengungkapkan seorang politikus PKS menceritakan hilir-mudik pesan pendek antara Hilmy dan Yudhoyono pada Sabtu malam setelah rapat paripurna. Menurut dia, Hilmy paham Yudhoyono sedang membicarakan nasib koalisi. Dengan salat istikharah--salat memohon petunjuk untuk menentukan pilihan yang sulit--Yudhoyono ingin memantapkan hatinya untuk mendepak atau tidak PKS dari koalisi. Hilmy membalas pesan Ketua Dewan Pembina Demokrat itu, "Silakan."
Keesokan harinya, Yudhoyono menemui pengurus Partai Demokrat di Kramat Raya--markas partai. Menurut Syariefuddin Hasan, anggota Dewan Pembina Demokrat yang juga Menteri Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah, Yudhoyono meminta tanggapan kader soal sikap PKS yang menyeleweng dari koalisi. "Semua ingin PKS keluar," kata Syarief. Mendengarkan kadernya berkeluh-kesah, Ketua Dewan Pembina Demokrat itu manggut-manggut.
Niat mendepak PKS dari koalisi itu makin tebal pada Selasa pekan lalu, atau tiga hari setelah pertemuan di Kramat Raya. Minus PKS, Yudhoyono mengumpulkan semua ketua umum partai koalisi, yakni Anas Urbaningrum dari Demokrat, Suryadharma Ali (Partai Persatuan Pembangunan), Aburizal Bakrie (Partai Golkar), Muhaimin Iskandar (Partai Kebangkitan Bangsa), dan Hatta Rajasa (Partai Amanat Nasional), di rumahnya di Puri Cikeas, Bogor.
Selain mereka, ada Syarief Hasan serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto. Menurut Syarief, dalam pertemuan itu, Yudhoyono membagikan selembar kertas berisi kontrak politik yang diteken pada 23 Mei 2011--setelah pembelotan PKS dan Golkar dalam sidang paripurna angket mafia pajak.
Kecuali Djoko Suyanto, setelah membaca dengan cermat delapan poin kesepakatan yang tertera di atas kertas itu, semua orang yang ada di ruangan bergantian bicara. "Kesimpulannya, PKS melanggar kontrak koalisi," ujar Syarief, yang juga Sekretaris Sekretariat Gabungan Partai Koalisi. Sesuai dengan poin kelima kontrak, kata Syarief, PKS wajib mundur dari koalisi. Bila tak mundur, keberadaannya di Sekretariat Gabungan pun dianggap tamat.
Seorang sumber berkata, di Cikeas malam itu, Yudhoyono geram terhadap sikap PKS. Termasuk pada saat pengambilan keputusan mengenai perkara Bank Century, sudah tiga kali PKS berseberangan dengan pemerintah. Pengurangan jatah menteri PKS dari empat menjadi tiga kursi pada perombakan kabinet Oktober tahun lalu merupakan hukuman Yudhoyono. Sebelum partai ini melunak, ketika itu Yudhoyono bahkan berniat mengeluarkan PKS dari koalisi. (Selengkapnya baca majalah Tempo: Talak Tiga Setelah Minyak)
ANTON SEPTIAN
Berita Terpopuler Lainnya:
Ical Desak Presiden Umumkan Nasib PKS
PKS Mainkan 'Politik Tumbal'
Buku Tifatul Ungkap Tawar-menawar Koalisi PKS-SBY
Golkar: Tanpa PKS, Koalisi Tetap Kuat
Demokrat-Golkar Tak Sodorkan Menteri Ganti Jatah PKS