TEMPO.CO, New York - Harga minyak mentah kembali jatuh pada perdagangan semalam setelah dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat dan bursa saham jatuh.
Minyak mentah untuk pengiriman bulan Mei kembali turun US$ 1,44 (1,4 persen) menjadi US$ 101,02 per barel di bursa komoditas New York semalam. Posisi ini merupakan level terendahnya sejak Februari lalu. Di pasar elektronik Asia pagi ini, harga minyak berhasil menguat US$ 0,19 (0,19 persen) menjadi US$ 101,21 per barel
Saham bursa New York kembali melemah membuat dolar AS kembali terapresiasi, obligasi serta emas juga menguat karena investor berbondong–bondong mencoba menyelamatkan aset mereka ke tempat yang dianggap aman.
“Data–data ekonomi terus menunjukkan perbaikan, tetapi tidak benar–benar lepas landas,” kata Kyle Cooper, Direktur IAF Advisors di Houston. “Permintaan minyak di AS terlihat cukup suram dan hal ini terlihat dari meningkat tajamnya persediaan,” ucapnya.”
Gas Alam untuk antaran bulan Mei harganya juga merosot 8 sen (3,6 persen) menjadi US$ 2,03 per mBtu. Ini merupakan level terendahnya dalam satu dekade terakhir. Penurunan ini juga merupakan yang terdalam sejak akhir Januari lalu.
Jatuhnya harga minyak dan gas alam karena reaksi terhadap data penciptaan lapangan kerja AS yang mengecewakan. Pada bulan Maret kemarin lapangan kerja baru hanya mencapai 120 ribu pekerjaan, jauh di bawah perkiraan para analis sebesar 210 ribu pekerjaan. Berlanjutnya pembicaraan Iran dengan dunia internasional terhadap program nuklirnya juga turut memicu pelemahan harga minyak.
Indeks dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia di transaksi pasar AS kembali naik ke level 79,899 dari penutupan Senin lalu di 79,759. Dengan terapresiasinya dolar AS membuat harga minyak menjadi makin mahal bagi investor yang memegang mata uang lainnya.
“Diprediksikan persedian minyak AS hingga tanggal 6 April lalu akan meningkat tajam sehingga cadangan minyak negara yang mengkonsumsi minyak terbesar di dunia tersebut mencapai level tertingginya sejak tahun 1990,” menurut catatan dari Tim Evan, analis dari Citi Futures Perspective kepada nasabahnya.
Namun, sebagian analis meragukan harga minyak dan dapat tergelincir di bawah US$ 100 per barel seiring meningkatnya pengiriman minyak ke Cina. “Bahkan, Cina terpaksa menaikkan harga bensin dan solar bulan Maret kemarin untuk meningkatkan keuntungan kilang minyak Negeri Tirai Bambu tersebut. Hal ini menunjukkan tingginya impor minyak ke negara tersebut,” kata analis dari Commerzbank.
MARKETWATCH / VIVA B. KUSNANDAR