TEMPO.CO, Surakarta - Krisis ekonomi yang melanda negara-negara di kawasan Uni Eropa membuat Indonesia terkena imbasnya. Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri, Trie Edi Mulyani, mengatakan Indonesia sudah merasakan dampak negatif dari krisis Eropa.
Misalnya ekspor cokelat ke Eropa dari Sulawesi menurun drastis. “Ini tidak bisa dibiarkan karena bisa membuat pengusaha semakin terpuruk,” kata Trie kepada wartawan di sela seminar menyikapi dampak krisis keuangan Eropa di Surakarta, Kamis, 12 April 2012.
Menurutnya saat ini sudah tidak bisa lagi mengandalkan ekspor ke negara-negara tradisional seperti negara di kawasan Eropa Barat. Para pengusaha sudah harus melirik pangsa pasar lain yang tidak terkena krisis.
Trie mengatakan negara-negara Eropa Timur dan Tengah relatif aman dari ancaman krisis. Negara seperti Hungaria, Polandia, Ukraina, dan Rusia dikatakannya bisa menjadi tempat tujuan baru. “Begitu juga Amerika Latin,” ucap dia.
Dia memberi contoh Kolombia yang tercatat sebagai negara penghasil bunga potong terbesar kedua di dunia. Indonesia harus memanfaatkan fakta di atas dengan mencoba masuk sebagai penyuplai pupuk. “Mereka pasti butuh pupuk untuk melestarikan tanamannya. Ini peluang yang bisa kita manfaatkan,” katanya.
Ia mendorong pengusaha agar memiliki inovasi dan melihat kebutuhan pasar. Juga memperhatikan regulasi dan sertifikasi yang harus dipenuhi dan siapa kontak bisnis di negara tujuan.
Sekretaris Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri, Alfred Palembangan, mengakui bahwa Uni Eropa memang pasar yang menggiurkan. Dengan jumlah penduduk 500 juta, GDP mencapai US$ 15,39 triliun.
“Ditambah lagi perdagangan kita dengan Uni Eropa selalu surplus sejak 2006 hingga 2011. Pada 2010 surplus US$ 7,3 miliar dan tahun lalu surplus US$ 8,04 miliar,” ujarnya.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Surakarta Hardono mengakui dampak krisis Eropa sudah terasa di Surakarta. Misalnya dari segi nilai ekspor, ekspor dari Surakarta dan sekitarnya pada semester II 2011 hanya tumbuh 6,81 persen. “Padahal pada semester I 2011 tumbuh 32,83 persen,” katanya. Saat ini nilai ekspor tercatat US$ 226,29 juta.
Dia mengatakan perlambatan ekspor ke luar negeri disebabkan oleh perlambatan ekonomi negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa serta berlarutnya penyelesaian krisis utang Eropa. Karena itu, pihaknya saat ini tengah menjajaki peluang ekspor seperti yang disarankan Kementerian Luar Negeri di atas.
UKKY PRIMARTANTYO