TEMPO.CO, Jakarta - Hampir semua tahanan anak mengalami kekerasan, bahkan pelecehan seksual, sebelum sampai di persidangan. Sebanyak 98 persen anak mengaku disiksa saat menjalani pemeriksaan, 97 persen mengaku dipukuli ketika penangkapan, dan 74 persen dihajar saat di dalam tahanan.
Bentuk penyiksaan itu antara lain dipukuli, diseret, dijambak, dan tidak diberi makan. "Bahkan ada yang mengaku dipaksa melakukan oral seks," ujar Restaria Hutabarat, Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Rabu 19 April 2012 kemarin.
Restaria memaparkan hasil penelitian berjudul "Situasi Anak dalam Proses Hukum Pidana”. Dalam penelitian itu, lembaganya mewawancarai 100 responden tahanan yang menjalani proses hukum pada periode Januari 2010-Januari 2012.
Tim peneliti menemui mereka di Rumah Tahanan Pondok Bambu dan Penjara Kelas IIA Anak Pria Tangerang (95 anak), serta Penjara Wanita Kelas IIB Tangerang (5 anak). Saat itu, "Ada yang masih menderita luka bakar dan memar-memar," kata Muhammad Isnur, anggota tim peneliti.
Definisi penyiksaan yang dibuat Restaria adalah perbuatan yang menimbulkan kesakitan atau penderitaan hebat, baik jasmani maupun rohani. "Penyiksaan yang dimaksud terjadi di semua tahapan pra-sidang."
Dia mencontohkan hal yang dialami saat penangkapan dan pembuatan berita acara pemeriksaan. Sebanyak 54 responden mengaku pernah dibentak, 45 anak mengaku pernah dipukul, 37 dibentak, dan 27 dipukuli sampai timbul luka permanen pada tubuhnya. Berikutnya, sebanyak 30 anak ditodong dengan pistol, dan 11 anak disiksa dengan dijepit jarinya. Satu orang mengaku pernah dibakar.
Selain itu, ada 8 anak yang mengaku pernah diraba pada bagian tubuhnya yang sensitif, dan 2 anak dipaksa melakukan oral seks. "Baik laki-laki maupun perempuan mengalami pelecehan itu," kata Isnur.
Tim peneliti LBH juga mewawancarai aparat penegak hukum. Mereka mendapati bahwa penjambakan, penamparan, pembentakan, dan pengancaman memang dilakukan untuk mendapatkan keterangan dari setiap tersangka. "Menurut saya, ini namanya sudah pelembagaan penyiksaan, bukan lagi penyiksaan yang hanya dilakukan oleh oknum," kata Restaria.
Dihubungi terpisah, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Maria Ulfah membenarkan tingginya angka kekerasan selama proses praperadilan anak-anak. "Dalam kunjungan ke lapas, anak-anak mengakui hal itu," kata Maria.
Dia berharap revisi terhadap Undang-Undang Pengadilan Anak kelak dapat memberi perlindungan bagi mereka yang berhadapan dengan proses hukum. Dia juga meminta adanya peningkatan pengawasan dan peningkatan kapasitas aparat kepolisian. "Terutama tingkat paling bawah, karena mereka yang berhadapan langsung dengan anak."
GADI MAKITAN | AMANDRA MUSTIKA
Berita Lainnya:
Naik Kapal Laut, Dahlan Iskan Nangis
Pidato SBY Marah Bocor, Ini Kata Jubir Presiden
SBY Beberkan Alasan Demokrat Belum Umumkan Capres
Rincian Beda Besar Gaji Hakim, Polisi dan Jaksa
Gempa Susulan Terus Goyang Aceh Hingga Pagi Ini
Gempa Aceh, Gempa Padang Mengintai
Untuk Raih Hak Cipta Si Unyil, Pak Raden Ngamen