TEMPO.CO , Bandung: Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa meminta pengusaha sawit untuk menggarap sektor hilir untuk menyiasati perlakuan tidak adil sejumlah negara terhadap produk Crude Palm Oil Indonesia. ”Cermati pasar domestik kita,” katanya saat membuka Musyawarah Nasional Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) di Bandung, Kamis, 12 April 2012.
Dia beralasan total ekspor yang dibukukan tahun lalu, menembus US$ 203 miliar yang disebut tertinggi dalam sejarah Indonesia, nilainya baru 24 persen dari total produk domestik bruto atau GDP. Dia membandingkan negara lain, seperti Malaysia yang porsi ekspornya sudah 90 persen GDP, serta Singapura 200 persen GDP. ”Itu artinya, kalau terjadi shock pada pasar ekspor kita, maka market domestik kita is very good untuk kita explore,” kata Hatta.
”Cermati betul market domestik kita, jangan industri makanan minuman kita yang meningkat sangat pesat tidak dimanfaatkan sebagai downstream, dari industri minyak sawit.”
Total produksi CPO Indonesia tahun lalu menembus 23,5 juta ton. Dari jumlah itu, 16,5 juta ton untuk ekspor. ”Kita ingin ada added value, kita ingin engineer kita memiliki jam kerja tinggi, maka hilirisasi merupakan sebuah keniscayaan,” kata Hatta.
Pernyataan Hatta itu untuk menjawab soal keluhan pengusaha sawit akibat dugaan praktek perdagangan tidak adil untuk komoditas sawit. Ketua Umum Gapki Joefly Bahroeny meminta pemerintah turun tangan, menyikapi diskriminasi terhadap CPO yang dicantumkan dalam salah satu bahan baku energi terbarukan dalam kebijakan EU Directive negara-negara di Eropa.
Joefly mengatakan dalam kebijakan energi terbarukan yang berlaku di negara-negara Eropa, CPO tidak memenuhi persyaratan standar emisi gas rumah kaca sebagai bahan baku energi terbarukan. “(Kebijakan serupa) akan diterapkan di Amerika, bahwa CPO tidak memenuhi standar emisi green house gass,” katanya.
Tak hanya itu yang dikeluhkan pengusaha sawit. Lainnya soal stigma perusakan lingkungan bagi perkebunan sawit, kebijakan tata ruang nasional dan provinsi yang belum rampung membuat pengusaha sawit memilih menunggu untuk membuka investasi baru, hingga soal moratorium penggunaan hutan primer dan gambut untuk lahan perkebunan.
Soal perlakuan tidak adil dalam perdagangan sawit, Hatta meminta agar pengusaha sawit melawannya dengan memberikan penjelasan lewat data yang kuat dan akurat. ”Seperti misalkan bahwa CPO kita dikategorikan sebagai memiliki ambang emisi yang melampaui ketentuan, penelitian menunjukkan itu tidak betul,” katanya.
Saat ini Gapki beranggotakan 561 perusahaan sawit. Total areal perkebunan yang dikelola pengusaha yang tergabung dalam organisasi itu menembus 2,9 juta hektare.
AHMAD FIKRI