TEMPO.CO, Yogyakarta - Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Danang Widoyoko, mengatakan selama ini masih banyak kasus-kasus korupsi di wilayah Indonesia timur yang sulit terpantau dan terkuak ke permukaan.
Danang mengatakan minimnya pengungkapan korupsi di wilayah Indonesia timur, seperti Papua dan lainnya, terkendala banyak faktor, seperti akses informasi, infrastruktur, dan jarak. “Persoalan kompleks di Indonesia timur yang tak kunjung selesai membuat kasus-kasus korupsi yang ada pun sulit terpantau dan terselesaikan,” kata Danang saat turut dalam kampanye organisasi Voice from the East (Vote) di Yogyakarta, Jumat, 13 April 2012.
Vote merupakan gerakan budaya yang turut digagas sejumlah musikus, seperti Glen Fredly, untuk mengajak masyarakat menengok lebih dalam persoalan-persoalan mendasar di kawasan Indonesia timur.
Danang mencontohkan, di wilayah seperti Papua, sejumlah kepala daerah memiliki aset pribadi secara berlebih, namun tak ada masyarakat yang protes atau menyoroti. “Ada bupati sampai punya dua pesawat dinas pun masyarakat diam. Tak seperti di Jawa, kepala daerah mau beli satu mobil dinas akan langsung ketahuan dan disorot,” kata dia.
Dalam catatan ICW, dugaan korupsi tertinggi di wilayah Indonesia timur masih pada penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Untuk mengungkap kasus yang terjadi, harus langsung menggali data dari lapangan yang dinilai masih makan ongkos sangat besar.
“KPK pun enggak cukup aktif untuk kasus di Indonesia timur. Karena selain jarak, mereka juga disibukkan dengan sejumlah kasus di Jawa, khususnya Jakarta,” kata dia. Selain terbentur jarak, Danang menilai KPK juga sering kali banyak mendapatkan tekanan politik dari sejumlah partai sehingga benar-benar mendapat pengawasan dalam melakukan gerak.
Danang mengatakan korupsi yang terjadi di kawasan Indonesia timur, khususnya terhadap APBD yang ada, akan sangat terasa bagi masyarakatnya. Tak seperti halnya di Jawa, sejumlah kasus seperti Nazaruddin (Wisma Atlet) atau Gayus Tambunan (pajak), meski besar, tak begitu dirasakan masyarakat luas.
“Pemerintah sendiri juga mengabaikan kondisi pendukung korupsi itu sejauh ini. Mereka selama ini hanya kucurkan dana, tapi tak kawal pendampingan dan pengawasannya,” kata dia.
Akibat korupsi yang tak terpantau itu, lanjut Danang, masih terjadi ketimpangan tajam antarpenduduk di Indonesia timur. “Kepala daerahnya malah mungkin lebih banyak tinggal di Jakarta,” kata dia. Kesalahan pemerintah yang hanya sekadar mengucurkan dana dan mengakibatkan ketimpangan dicontohkan dengan adanya gedung sekolah namun tak ada guru, gedung rumah sakit tanpa dokter, dan lainnya.
ICW juga mendesak KPK dan pemerintah menunjuk perwakilan penegak hukum yang dapat bekerja efektif dan terpantau di Indonesia timur. Danang mengakui, meski selama ini organisasinya intens menyoroti kasus korupsi yang terjadi, lingkupnya masih terbatas. “Kalau kami soroti, paling wilayahnya hanya terungkap di seputaran Jawa. Toh, kalau ada media, juga tak sampai masuk ke pelosok jika distribusi media itu sampai Indonesia timur,” kata dia.
ICW sendiri, kata dia, mengapresiasi kampanye melawan korupsi melalui budaya dengan Vote. “Mungkin kalau yang ngajak seniman, penyadaran itu malah bisa sampai ke bawah,” kata dia. ICW melalui gerakan Vote ini akan mengagendakan dorongan kepada pemerintah pusat dan KPK untuk lebih intens mengawasi persoalan korupsi di Indonesia timur.
PRIBADI WICAKSONO