TEMPO.CO, Jakarta - Rencana kebijakan pemerintah membatasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dinilai sebagai langkah terselubung menaikkan harga. Sebab masyarakat dipaksa beralih ke BBM nonsubsidi.
Pengamat perminyakan, Kurtubi, mengatakan pemerintah memiliki tujuan lain yang tidak ingin dipaparkan kepada masyarakat. “Pemerintah tidak jujur, ada udang di balik batu,” kata Kurtubi ketika dihubungi Tempo, Sabtu, 14 April 2012.
Menurut dia, pembatasan BBM bersubsidi berdasarkan spesifikasi silinder mesin tidak akan efisien dan besar kemungkinan tidak tepat sasaran. Masyarakat dengan kapasitas mesin 1.500 cc ke atas tidak ada pilihan selain membeli Pertamax yang harganya dua kali lipat dari Premium.
“Ini melanggar hasil Sidang Paripurna DPR dan APBN-Perubahan 2012 yang hanya beri kewenangan menaikkan harga kalau harga ICP (Indonesia Crude Price) sudah berbeda 15 persen,” katanya.
Selain itu, pembatasan berdasarkan spesifikasi silinder mesin mobil juga dinilai tidak efektif dan sulit diterapkan. Sebab petugas pompa bensin akan kesulitan membedakan spesifikasi mesin mobilnya. Ini berpotensi menimbulkan perdebatan antara konsumen dan petugas di lapangan.
Dia juga memperkirakan akan ada potensi penyogokan yang dilakukan terhadap petugas pompa bensin. Dengan disparitas harga BBM subsidi dengan non-subsidi yang tinggi, konsumen akan menyogok petugas agar bisa membeli Premium.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berencana melakukan pembatasan Premium bagi mobil yang memiliki kapasitas mesin di atas 1.500 cc. Aturan itu akan disahkan melalui peraturan menteri pada Mei mendatang.
Kurtubi menambahkan, kebijakan pembatasan itu juga terlalu diskriminatif. Sebab, kata dia, tidak semua pengguna mobil dengan cc tinggi adalah golongan menengah ke atas. “Mobil-mobil lama yang sudah puluhan tahun rata-rata cc mobilnya tinggi, di atas 1.500. ini dimiliki kalangan menengah bawah,” ujarnya.
Tidak hanya itu, menurut dia, pembatasan ini sama saja dengan melancarkan impor minyak pada tahun-tahun mendatang karena masyarakat tetap digiring untuk mengkonsumsi minyak. “Harusnya pemerintah memikirkan untuk mengurangi konsumsi minyak. Caranya dengan konversi BBM ke gas. Pasokan gas kita masih lebih banyak dari minyak,” ujarnya.
ROSALINA