TEMPO.CO, Jakarta- Koalisi Masyarakat Sipil bersiap menggugat Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial ke Mahkamah Konstitusi. Koordinator Kontras, Haris Azhar menyatakan koalisi kini tengah merampungkan draft uji materi yang akan diajukan. "Sekarang kami sedang menyusun strategi dan legal draf," ujar Haris saat dihubungi, Selasa, 17 April 2012.
Menurut Haris, pengesahan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial ini terburu-buru. Akibatnya masih banyak kekurangan dalam materi UU yang berpotensi menimbulkan penyimpangan. Bahkan, UU ini dinilai rawan menimbulkan pelanggaran HAM.
Baca Juga:
Saat ini kata Haris, Koalisi sudah menemukan kesepahaman mengenai beberapa isu pokok yang akan diuji materi. Di antaranya mengenai mekanisme penyelesaian konflik melalui hukum adat. Menurut Haris, UU PKS tidak mengatur dengan tegas mekanisme dan batasan penggunaan hukum adat untuk menyelesaikan konflik. "Bagaimana jika konfliknya mengandung kejahatan, atau bagaimana jika konflik terjadi antar dua komunitas adat yang berbeda," ujar dia.
Menurut Haris UU ini tidak menjabarkan dengan detail kapan hukum adat bisa digunakan untuk menyelesaikan konflik. Selama ini hukum adat tidak memiliki aturan tertulis dan hanya berdasarkan kesepahaman bersama dan antara dua pihak yang berkonflik. Maka seharusnya dalam pasal penggunaan hukum adat, kata Haris, harus diatur dengan tegas.
Bolong kedua kata Haris karena tidak adanya pengaturan yang detail mengenai peran dan fungsi forum penyelesaian konflik yang ada di daerah. Koalisi khawatir kehadiran forum justru bertabrakan dengan institusi resmi pemerintah yang sudah ada di setiap daerah. Selain soal fungsi, keberadaan forum khusus penanganan konflik dinilai juga akan melahirkan pos anggaran baru di APBN daerah.
Baca Juga:
Kewenangan forum dalam menyelesaikan konflik pun dinilai juga rawan disalahgunakan. Meski pasal pelibatan TNI sudah tidak lagi menjadi keputusan forum daerah dan dikembalikan kepada presiden, koalisi menilai tetap ada potensi penyalahgunaan wewenang untuk pelibatan TNI. Hal ini dimungkinkan jika kepala daerah memiliki kepentingan sama dengan presiden, terutama dalam hal politik. "Tidak ada mekanisme dan batasan yang jelas mengenai pelibatan militer."
Masalah lain yang menjadi sorotan koalisi adalah dalam hal pendefinisian konflik sosial. UU PKS dinilai salah tafsir dalam menjabarkan situasi konflik, khususnya mengenai konflik sumber daya alam. Menurut Haris seharusnya tidak ada istilah konflik sumber daya alam dalam Undang-Undang. "Tidak pernah ada konflik sumber daya alam, yang ada konflik akibat salah kelola sumber daya alam."
Perspektif konflik sumber daya alam yang keliru menurut Haris berpotensi dimanfaatkan kelompok tertentu untuk kepentingan pemilik modal. "Poin potensial digunakan untuk mengamankan kepentingan eksplorasi sumber daya alam di Indonesia," ujar dia. Apalagi selama ini konflik yang terjadi akibat penguasaan sumber daya alam oleh perusahaan besar sering menempatkan masyarakat dalam pihak yang tidak sejajar.
Rencananya, uji materi UU Penanganan Konflik Sosial ini akan diajukan Mei mendatang. Koalisi yang terdiri dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat ini seperti Setara, Elsam, Imparsial, YLBHI, TII, dan Kontras ini akan menggalang lebih banyak dukungan untuk mengajukan uji materi.
IRA GUSLINA SUFA