TEMPO.CO, Bandar Lampung - Meski kondisinya mulai melemah, tujuh petani asal Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah, masih bertahan melakukan aksi mogok makan. Mereka sudah mogok makan selama sepuluh hari. “Saya akan tetap mogok makan hingga Badan Pertanahan Nasional Lampung mengukur ulang dan mengembalikan lahan itu,” kata Abdul Azis, 72 tahun, warga Desa Surabaya, Kecamatan Padang Ratu, yang menjadi peserta mogok makan, Rabu, 18 April 2012.
Abdul Azis, kakek renta itu, mengaku kondisinya masih bisa bertahan hingga lima hari ke depan untuk tidak makan dan minum. Kakek sepuluh cucu itu hanya terbaring lemah sambil memegang tasbih. Mulutnya selalu komat-kamit menyebut nama Tuhan.
Abdul Azis yang mendiami desa itu sejak tahun 1950-an bersama orang tuanya mendapat jatah tanah garapan seluas 2 hektare dari Presiden Soekarno, yang membeli lahan untuk 200-an kepala keluarga asal Pulau Jawa dari Kepala Negeri Padang Ratu. “Kebijakan itu dikeluarkan oleh Presiden Soekarno agar Lampung maju dan ramai,” ujarnya.
Tahun 1972, datang seorang pengusaha asal Jepang yang mengajak warga untuk bekerja sama mengelola lahan. Warga mendapat uang sewa Rp 25 hingga Rp 200 per tahun. “Perjanjian itu berakhir pada tahun 1984 lalu. Tapi kemudian diperpanjang oleh PT Sahang, yang masa izinnya habis pada tahun 2008,” ucap Abdul Azis.
Pada tahun 2008, PT Sahang secara sepihak menjual lahan itu kepada PT Lambang Sawit Perkasa, anak usaha Sinar Mas Grup. BPN Lampung juga memasukkan lahan seluas 283, 43 hektare ke areal hak guna usaha (HGU) milik PT Lambang Sawit Perkasa yang baru. “Itu aneh karena ada manipulasi peta dan nasib sertifikat kami menjadi tidak jelas,” tutur Abdul Azis.
Abdul Azis merupakan rekan Misbah, 62 tahun, yang telah mengakhiri hidup dengan gantung diri karena depresi akibat perjuangan panjang merebut tanah milik mereka. Sementara puluhan petani lain masih bertahan di depan kantor BPN Lampung sejak tiga puluh hari lalu. Hampir setiap hari mereka menggelar orasi di depan pintu gerbang kantor BPN.
Meski begitu, seluruh pejabat di BPN Lampung seolah tak risih dengan pemandangan lima tenda besar tempat bernaung para petani. Para petani memasak, makan, dan tidur di depan kantor BPN dan DPRD Kota Bandar Lampung. “Kayaknya para pejabat itu sudah bebal. Tidak ada yang berupaya menemui kami. Berdialog atau sekadar mengajak bicara. Air dan listrik di kantor itu juga diputus agar kami tidak bisa menikmati,” kata Kanan, warga lainnya.
Tempo sudah berusaha mengkonfirmasi pejabat di BPN Lampung, namun tidak mendapat tanggapan. Mereka enggan memberikan keterangan terkait sengketa lahan antara warga dan perusahaan perkebunan sawit tersebut. “Maaf, semua pejabat yang berwenang di kantor ini sedang ada kegiatan. Silakan lain waktu saja,” kata seorang petugas sekuriti saat Tempo berusaha meminta konfirmasi.
NUROCHMAN ARRAZIE