TEMPO.CO, Jakarta - PT Bank Syariah Mandiri (BSM) bakal menerapkan aturan minimum uang muka, meski lembaga pembiayaan syariah tidak diwajibkan mengikuti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2012 tentang pengaturan uang muka untuk kendaraan bermotor maupun perumahan. "Kami ingin membuktikan bahwa kami mampu dan prudent (berhati-hati)," ujar Direktur Utama BSM Yuslam Fauzi, Rabu, 18 April 2012.
Terbitnya aturan itu, kata dia, dapat dijadikan bukti bahwa lembaga keuangan syariah memiliki kemampuan pembiayaan sama baiknya dengan layanan bank konvensional. Ia menyambut baik aturan itu karena hal itu diperlukan sebagai manajemen risiko lembaga pembiayaan. "Jangan sampai nasabah tidak punya uang memiliki barang yang melebihi kemampuannya," ujarnya.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menyatakan penerapan aturan tersebut tidak berlaku pada perusahaan pembiayaan syariah. Alasannya, jumlah lembaga pembiayaan berbasis syariah masih minim.
Harapannya, kesempatan itu memberikan ruang terbuka lembaga pembiayaan syariah lebih berkembang. Hingga kini, baru ada dua perusahaan pembiayaan yang secara penuh menerapkan prinsip syariah dari jumlah yang ada, sedangkan perusahaan pembiayaan konvensional berjumlah 197 perusahaan.
Seperti diketahui, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan loan to value (LTV) untuk menyehatkan kredit perbankan. Rasio pembiayaan terhadap nilai pembiayaan yang ideal adalah pembiayaan maksimal sebesar 70 persen dan uang muka minimal 30 persen.
Tahun lalu, perseroan mengalami pertumbuhan sekitar 53,26 persen jika dibandingkan pembiayaan pada 2010 yang tercatat sebanyak Rp 23,96 triliun. Sementara laba bersih 2011 naik 31,67 persen menjadi Rp 551,07 miliar dari sebelumnya di angka Rp 418,52 miliar.
Dari sisi aset, BSM mencatatkan pertumbuhan signifikan sekitar 49,85 persen menjadi Rp 48,67 triliun dari sebelumnya Rp 32,48 triliun pada 2010. "Peningkatan ini ditopang dengan meningkatnya dana pihak ketiga (DPK) dari Rp 28,99 triliun di 2010 menjadi Rp 42,61 triliun di 2011."
JAYADI SUPRIADIN