TEMPO.CO, Jakarta - Pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi tak lantas mengatasi masalah membengkaknya subsidi. Dengan kebijakan pembatasan, anggaran subsidi BBM masih akan menggelembung dari Rp 137,4 triliun menjadi sekitar Rp 239 triliun.
"Pembatasan konsumsi tidak cukup signifikan untuk menghemat subsidi," kata Direktur Eksekutif Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam diskusi "Hitung Ulang Guncangan Harga BBM" di Demang Resto & Coffee, Senin, 23 April 2012.
Perry memaparkan kendaraan pribadi di Jawa-Bali mengkonsumsi 8,9 juta kiloliter BBM bersubsidi tiap tahun. Jika pemerintah jadi menetapkan pembatasan konsumsi BBM bagi kendaraan dengan kapasitas mesin di atas 1.500 cc, akan ada penghematan sekitar 40 persen. "Namun hasil penghematan ini tergantung waktu penerapan kebijakan tersebut," ujarnya.
Perry merinci, jika pembatasan konsumsi berlaku mulai Mei, konsumsi BBM yang dihemat setara delapan bulan atau sekitar 2,4 juta kiloliter. Dengan asumsi harga patokan minyak Indonesia (ICP) US$ 120 per barel dan harga ekonomis Rp 9.000 (subsidi Rp 4.500 per liter), diasumsikan besaran penghematan hanya sekitar Rp 10,8 triliun.
Ia juga memperhitungkan, jika pembatasan konsumsi BBM jadi dilakukan, maka akan ada tambahan inflasi 0,3 persen menjadi 4,7 persen. Jika kebijakan pembatasan disertai kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 per liter, diperkirakan ada tambahan inflasi 2,2 persen menjadi sekitar 6,9 persen.
Bank Indonesia pun memiliki cara untuk merespons lonjakan inflasi tersebut. Perry mengatakan salah satu langkah yang dilakukan yakni operasi moneter di pasar uang. Jika upaya ini tak cukup mengendalikan inflasi, maka akan ada pengendalian melalui aturan giro wajib minimum. "Kenaikannya secara proporsional sesuai dengan ekses likuiditas," katanya.
MARTHA THERTINA