TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga swadaya masyarakat Migrant Care menuding Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Malaysia teledor dalam menangani kasus kematian tenaga kerja Indonesia (TKI) di Negeri Jiran itu.
“Masak ada TKI ditembak mati, tetapi jenazahnya diterima begitu saja tanpa ada pengusutan lebih lanjut,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah ketika dihubungi Selasa, 24 April 2012.
“Terlebih lagi penyebab kematian adalah ditembak mati oleh polisi Malaysia,” kata Anis. Ia khawatir penembakan yang mengakibatkan kematian ketiga TKI tersebut dilakukan dengan pelanggaran hukum.
Menurut dia, KBRI seharusnya langsung melakukan pemeriksaan ulang begitu ada TKI yang diserahkan kepada KBRI dalam keadaan meninggal. Dengan demikian, penyebab kematian TKI dapat terungkap dan keluarga TKI juga tidak bertanya-tanya mengenai sebab anggota keluarganya meninggal.
Sebelumnya, tiga TKI asal Desa Pancor Kopong, Kecamatan Pringgasela Selatan, Kabupaten Lombok Timur, dan Desa Pengadangan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat dipulangkan dalam keadaan meninggal dunia. Ketiga TKI itu diduga menjadi korban perdagangan orang dan penjualan organ tubuh.
Ketiga TKI itu adalah Herman asal Desa Pancor Kopong, Abdul Kadir Jaelani asal Desa Pancor, dan Mad Noon asal Desa Pengadangan. Pada Senin, 23 April 2012, Migrant Care dan perwakilan keluarga ketiga korban tersebut mendatangi Kementerian Luar Negeri untuk mendesak pemerintah mengusut penyebab kematian ketiganya dan dugaan penjualan organ tubuh mereka.
Anis menerima janji Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang akan memerintahkan otopsi ulang ketiga jenazah TKI itu. Ia mendesak agar otopsi ulang dilakukan secepatnya karena tubuh korban telah dimakamkan sejak 6 April lalu. Ia khawatir jenazah telanjur rusak dan membusuk jika tidak segera diotopsi ulang.
Anis juga berharap pemerintah membantu membiayai otopsi tersebut serta mengurus perizinannya dengan lebih cepat. Kepolisian NTB, menurut dia, enggan melakukan otopsi dengan cepat karena masih menunggu perizinan dan koordinasi dengan KBRI dan pemerintah.
Ia mendesak pemerintah untuk menjernihkan masalah tersebut secepat mungkin. “Jangan biarkan keluarga korban dalam kondisi bertanya-tanya,” kata dia.
RAFIKA AULIA