TEMPO.CO, Jakarta -Mencuatnya kembali kekhawatiran terhadap krisis utang di kawasan Eropa setelah Standard & Poor’s memangkas peringkat utang Spanyol dua level menjadi BBB+ membuat para pelaku gamang membeli rupiah.
Apresiasi rupiah masih akan tersandera oleh faktor ketidakpastian masalah pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi. Batalnya kenaikan harga BBM awal bulan lalu menjadi salah satu alasan Standard & Poor’s menunda Indonesia masuk layak investasi.
Pasalnya, harga BBM yang tidak jadi naik semakin membebani anggaran pemerintah dan menambah defisit anggaran seiring dengan membengkaknya subsidi.
Akhir pekan lalu rupiah ditutup di level 9.189 per dolar Amerika Serikat, yang berarti melemah tipis 5 poin dibanding penutupan pekan sebelumnya di 9.184 per dolar AS.
Pengamat pasar uang dari PT Harvest International Futures, Tonny Mariano, menjelaskan, rupiah masih akan bergerak di kisaran sempit dan belum bisa menguat lebih jauh. Ekspektasi inflasi yang cenderung meningkat masih akan membebani apresiasi rupiah terhadap dolar AS.
Akhir pekan lalu dolar AS melemah terhadap mata uang utama dunia setelah produk domestik bruto Amerika Serikat pada triwulan pertama 2012 hanya tumbuh 2,2 persen, turun dari triwulan sebelumnya, 3 persen.
Mata uang tunggal Uni Eropa, euro, berhasil menguat 0,27 persen ke US$ 1,3254, pound sterling menguat 0,5 persen ke US$ 1,6266, serta yen juga menguat 0,89 persen menjadi 80,27 per dolar AS.
“Namun penurunan dolar AS terhadap mata uang utama dunia tidak bisa langsung diterjemahkan rupiah akan langsung menguat,” tuturnya. Pekan ini rupiah akan ditransaksikan pada kisaran 9.130-9.230 per dolar AS.
PDAT | VIVA B. KUSNANDAR