TEMPO.CO, Jakarta - Dalam diskusi buku Irshad Manji berjudul Allah, Liberty, and Love yang berlangsung di Kantor Sekretariat AJI, Jakarta Selatan, pengamat sosial keagamaan Novriantoni mengatakan bahwa isu agama tidak bisa hanya ditangani dengan seperangkat regulasi. Malah Novriantoni berargumen bahwa deregulasi mungkin lebih penting dibanding pengaturan udalam menangani isu agama.
"Tatkala soal keagamaan minim regulasi, ala kadarnya, dan diberi iklim kompetisi yang sehat dan adil, level komitmen dan kesalehan keagamaan justru tinggi," ujar Novriantoni dalam materi yang ia berikan, Sabtu, 5 Mei 2012.
Deregulasi, yang menurut Novriantoni adalah minimalkan aspek legal dalam kelangsungan kegiatan keagamaan, memungkinkan rakyat untuk tidak dibatasi dalam melakukan kegiatan agama tertentu. Dan, ketika sejumlah kelompok agama tidak terlalu dibatasi, kata dia, kelompok tersebut justru akan saling menghormati karena tidak ada kecenderungan dari pembuat aturan.
Novriantoni menjelaskan regulasi keagamaan justru akan berujung pada persekusi (pembatasan) keagamaan dan perpecahan. Sebab, timbul kesan kecenderungan khusus pada pihak agama tertentu. Adapun agama yang tidak teregulasi (tidak dibatasi) merasa mempunyai kuasa untuk menghakimi mereka yang teregulasi (dibatasi) .
Contoh konkret adalah kasus jilbab di Prancis yang dianggap sebagai simbol keagamaan. Sembilan bulan setelah larangan pemakaian simbol keagamaan diberlakukan, diskriminasi sosial dan pelecehan fisik terjadi pada mereka yang berjilbab. "Padahal, sebelum ada regulasi, tidak," ia menuturkan.
Baca Juga:
Novriantoni menambahkan bahwa dari sekian banyak masyarakat agama ada kecenderungan bahwa masyarakat muslim jauh lebih haus regulasi dibanding masyarakat lainnya. Mereka, ujar dia, kerap membuat aturan yang apabila tidak dibuat oleh pemerintah dibuat oleh kartel keagamaan demi menjegal masyarakat agama tertentu.
"Oleh karena itu, mereka paling banyak melakukan persekusi ataupun pembatasan pada masyarakat agama lainnya," kata dia.
Terakhir, dalam konteks Indonesia, Novriantoni mengatakan bahwa saat ini ada kecenderungan pemerintah Indonesia lebih mengayomi intoleransi antarumat beragama dibanding toleransi. Hal ini dikarenakan banyaknya regulasi keagamaan di Indonesia yang terlalu menguntungkan masyarakat agama tertentu.
Beberapa contoh di antaranya, ujar Novriantoni, adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah, SKB Tiga Menteri Tentang Ahmadiyah, dan sebagainya.
"Pemerintah, seperti yang dikatakan Saiful Mujani, berada dalam bayang-bayang kuasa umat, sehingga tidak memiliki visi tentang toleransi antarumat beragama di negeri ini," ujar Novriantoni sambil mengatakan bahwa lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah menimbulkan rezim keagamaan yang gemar menindas.
ISTMAN MP