TEMPO.CO, Jakarta - Data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang dirilis akhir pekan lalu yang kembali memburuk membuat para pelaku pasar semakin cemas terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Perekrutan tenaga kerja baru di Negeri Abang Sam yang hanya mencapai 115 ribu jiwa, jauh di bawah perkiraan para analis sebesar 174 ribu jiwa, menimbulkan kekhawatiran bagi para investor. Imbasnya, dolar AS dan yen, yang dianggap sebagai mata uang paling aman, kembali diburu pelaku pasar.
Jumat lalu, rupiah berhasil menguat 17 poin (0,18 persen) ke level 9.214 per dolar AS. Namun, dalam sepekan kemarin, rupiah melemah 25 poin (0,27 persen) dibanding posisi pekan sebelumnya di 9.189 per dolar AS.
Pengamat pasar uang Abidan Saragih menjelaskan, produk domestik bruto (PDB) yang diperkirakan sedikit melemah dan kuatnya tekanan dari faktor eksternal membuat rupiah berpotensi melemah. “Rupiah akan ditransaksikan dalam kisaran lebar antara 9.150 dan 9.300 per dolar AS,” tuturnya.
Melemahnya kinerja ekspor seiring dengan turunnya permintaan dari pasar global akan membuat PDB Indonesia pada triwulan pertama yang bakal dirilis awal pekan ini akan cenderung melambat di bawah perkiraan pemerintah, meskipun masih akan berada di atas 6 persen.
Ekonomi kawasan Eropa yang mengalami kontraksi serta data tenaga kerja di Amerika yang mengecewakan menambah kekhawatiran para pelaku pasar terhadap pemulihan global. Hal itu membuat tekanan terhadap rupiah masih tetap tinggi pekan ini dan berpeluang mendekati level 9.300 per dolar AS. “Namun Bank Indonesia, yang akan selalu konsisten menjaga pergerakan mata uangnya, membuat pelemahan rupiah juga tidak terlalu dalam,” dia memaparkan.
Indeks dolar AS terhadap enam mata uang rival utamanya naik 0,3 poin (0,38 persen) ke level 79,5. Tingginya permintaan terhadap mata uang safe haven membuat yen Jepang juga menguat hingga di bawah 80 per dolar AS. Meskipun bank sentral Jepang melakukan stimulus agar mata uangnya melemah, tapi yen kembali menguat.
PDAT | VIVA B. KUSNANDAR