TEMPO.CO , Jakarta:-“Lebih dinamis karena lebih kreatif dan estetis!” Begitu komentar Dekan Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Suastiwi Triadmodjo saat mengamati topeng-topeng Meksiko yang dipajang di dinding ruang Galeri ISI. Selama hampir tiga pekan, 26 April-14 Mei 2012, puluhan topeng berbahan kayu, kulit, dan anyaman itu dipamerkan di sana atas kerja sama ISI Yogyakarta dengan Kedutaan Besar Meksiko di Indonesia.
Menurut Suastiwi, berbeda dengan pembuat topeng asal Indonesia yang menggunakan bahan dasar kayu, pembuat topeng Meksiko lebih berani memadu-padankan aneka bahan untuk dijadikan topeng. Bahan-bahan yang digunakan berasal dari kekayaan alam di Meksiko, seperti tulang panggul hewan, tangkai kaktus, labu, tanah liat, kayu, kulit kura-kura, serta aneka kulit binatang. Mereka juga tak segan menggunakan produk buatan, seperti karton dan kaleng daur ulang.
Konsul Meksiko untuk Yogyakarta, Warwick Purser, yang membuka pameran pada Kamis, 26 April 2012, itu menjelaskan bahwa topeng Meksiko termasuk tradisi kekayaan topeng Mesoamerika. Tradisi yang berumur ribuan tahun tersebut tetap terjaga selama penaklukan Spanyol. Selama hampir 500 tahun topeng Meksiko terkait erat dengan seni pertunjukan dan tradisi musik Eropa. Tradisi itu menjadi alat untuk memperluas keyakinan Kristen di era baru.
Wajah-wajah topeng yang ditampilkan dalam pameran bertajuk “Mascaras Mexicanas” tersebut bukan mencerminkan aneka mimik wajah, misalkan marah, sedih, atau bahagia, seperti topeng-topeng pada umumnya. Topeng-topeng itu lebih menunjukkan karakter dari peran yang dimainkan pemakai topeng. “Kami ingin tunjukkan kepada dunia kalau topeng-topeng Meksiko itu berbeda,” kata Warwick.
Topeng Dance of the Old Men, misalnya. Sesuai dengan namanya, karakter topeng itu menunjukkan wajah orang tua yang dahi, pipi, dan ujung kelopak matanya penuh dengan guratan. Dua gigi yang menonjol di kedua ujung bibirnya makin membuat wajahnya kelihatan tua. Topeng dari kayu itu biasa digunakan dalam pertunjukan tarian tradisional di salah satu negara bagian Meksiko, Michoacan.
Ada pula topeng Huave dari Oaxaca yang terbuat dari kayu, tanduk, dan kulit babi, yang biasa digunakan dalam kegiatan karnaval atau festival di desa-desa. Topeng berwarna hitam itu terlihat etnik. Kulit babi yang digunakan sebagai hiasan berbentuk jenggot dan rambut dengan dua tanduk dipasang di ujung kiri-kanan kepalanya. Sebagian topeng hitam dipercaya mampu membangkitkan dewa Pra-Hispanic Tezcalitpoca.
Menurut Suastiwi, tradisi topeng Meksiko telah muncul pada masa pre-Hispanic, yakni sebelum pendudukan Spanyol pada abad ke-16. Sebelum abad ke-16, ada sekitar seratus etnis di Meksiko, di antaranya Olmec, Maya, Zapotex, Miztec, dan Aztec. Topeng pada saat itu menjadi bagian dari ritual keagamaan mereka. “Topeng-topeng Meksiko biasa dikenakan untuk drama tari dalam perayaan keagamaan ataupun festival lokal,” kata Suastiwi kepada Tempo seusai acara pembukaan pameran.
Dalam upacara keagamaan, pemakai topeng akan menari memainkan peran seseorang atau seekor binatang yang mencerminkan karakter dewa mereka. Tarian itu bercerita tentang keinginan yang bisa diraih berkat kekuatan gaib. Hanya, ketika Spanyol berkuasa, ada perubahan pada ritual keagamaan yang bertumpu pada kepercayaan monoteisme Kristen Eropa. Meski demikian, topeng masih dipergunakan sebagai bagian dari ritual keagamaan yang tersusun dalam kalender Kristen. Salah satunya dalam permainan dan karnaval yang dilakukan 40 hari sebelum perayaan Paskah.
PITO AGUSTIN RUDIANA