TEMPO.CO, Moskow - Jatuhnya Sukhoi Superjet 100 di Indonesia jadi perbincangan hangat di Rusia. Media Russia Today, misalnya, menyoroti seputar sesaat sebelum pesawat hilang kontak.
Saat itu, tulis media ini, pilot meminta izin untuk turun. Mereka mendapat izin untuk menurunkan dari ketinggian 10.000 kaki menjadi 6.000 kaki, setelah itu kontak radio hilang.
Dugaan pembajakan sempat menyeruak. Mereka mengatakan bahwa dalam kasus kecelakaan, sebuah suar darurat mestinya menyala, dan hal itu tidak terjadi.
Mengutip seorang mantan pilot seniornya, media ini menulis bagian dari Jakarta memiliki medan sangat keras. Mantan pilot tes Magomed Tolboev, yang pernah terbang ke Indonesia, mengatakan kepada RT, "Ada gunung 6.158 meter, itu sangat sulit," katanya. "Pilot harusnya telah melihat gunung karena pesawat itu sangat modern. Hal ini dilengkapi dengan semua peralatan penerbangan terbaru."
Pilot lain, Martin Medic setuju. Semestinya, sistem akan memberitahu begitu pesawat berada dalam jarak tak aman dengan tanah. Hal itu berfungsi untuk "menghindari segala bentuk benturan dengan daratan."
Namun Chris Yates, seorang ahli penerbangan, menolak skenario pembajakan karena dalam kasus itu kedip radar pada layar akan menunjukkan di mana pesawat itu mungkin berada.
Sementara itu, David Learmount, pengelola situs penerbangan global Flightglobal, percaya faktor human error lebih berperan. Demonstrasi untuk calon pelanggan, kata dia, bisa menjadi bagian penting dari demo itu. Cukup banyak kecelakaan penerbangan terjadi murni karena pesawat sedang mempertontonkan sampai ke ujung potensi mereka, katanya kepada RT.
"Itu adalah penerbangan demo, hal ini merupakan demonstrasi penerbangan," kata Learmount. "Kadang-kadang pilot atau awak pesawat sengaja melampaui batas mereka. Dan mereka melakukan itu kadang-kadang ketika pesawat sudah cukup dekat dengan tanah. Sebuah demonstrasi penerbangan kerap melakukannya. Terkadang mereka terlalu jauh. Dan itulah yang mungkin terjadi di sana (Indonesia)."
TRIP B