TEMPO.CO, Jakarta- Raut duka tak tampak di wajah Herman R. Tou. Pria 70 tahun ini justru tersenyum ketika sorot kamera televisi dan foto mengarah kepadanya. Herman berdiri dan membentangkan sebuah kertas bertulis "Turut Berduka Cita Atas Kecelakaan Sukhoi" di antara puluhan keluarga korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 di Rumah Sakit Pusat Polri Raden Said Sukanto, Sabtu 12 Mei 2012. Di bawahnya, tulisan dengan bahasa Rusia terpampang.
Di bawah tenda berukuran 3 x 10 meter yang disediakan rumah sakit, Herman menyatakan kecintaannya kepada Rusia. "Rusia adalah negara kedua saya. Saya cinta Rusia," ujarnya menjelaskan arti tulisan di kertas bekas kalender yang dibawanya itu.
Kecintaan Herman kepada Rusia, menurut dia, karena ia sempat menetap di sana selama tujuh tahun. Ia mengaku pernah bersekolah di Institut Kedokteran Pertama Leningrad. "Sekarang nama kotanya adalah St. Petersburg. Dulu namanya Leningrad, saya tinggal di sana tahun 1965 sampai 1972," kata dia di antara puluhan anggota keluarga korban.
Herman terdorong mendatangi rumah sakti setelah mendengar korban sudah mulai ditemukan dan akan diidentifikasi. Ia mengaku ingin bertemu dengan keluarga korban dan tim dokter asal Rusia yang akan datang ke rumah sakit. "Saya ingin bertemu dengan orang Rusia karena yang saya dengar di televisi ada tim dokter dari Rusia yang akan datang ke sini," kata dia.
Selain ingin bertemu dengan orang Rusia, Herman juga ingin menyampaikan belasungkawa secara langsung kepada keluarga korban. Ia sendiri tak memiliki keluarga yang menjadi korban. "Saya mengikuti terus berita soal Sukhoi ini. Saya ingin secara langsung menyampaikan belasungkawa," kata warga Jalan Berlian 4 H4 No 16. Mùtiara Bekasi Jaya. Sindang Mulya, Cibarusah, Bekasi, ini.
Di samping Herman, Didit Petrus Susapthadi masih terus mencoba tersenyum. Keringat di kepala, leher dan tubuh Didit Petrus Susapthadi terus berkucuran. Berbaur dengan cucuran air mata, Didit tak menyekanya. Empat hari sudah ia tak bertemu dengan istrinya, Maria Marcella.
Empat hari juga ia sudah menunggu kabar kepastian jenazah istrinya yang menjadi salah satu korban kecelakaan Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Bogor. "Feeling saya sih, ada istri saya di situ," ujarnya kepada wartawan saat sebuah ambulans yang membawa kantong jenazah tiba di Rumah Sakit Polri Raden Said Sukanto.
Didit mengaku sudah memasrahkan istrinya itu. Namun ia berharap jenazah mantan pramugari Garuda Indonesia itu segera ditemukan. "Supaya jenazahnya segera bisa dimakamkan," ujarnya sambil menahan isak tangis.
Sedangkan Badai, menantu Herman Suladji, 70 tahun, yang ikut menjadi korban, mengaku kecewa dengan penanganan setelah kecelakaan. Awalnya, ia dan keluarga masih menaruh secercah harapan bahwa Herman hidup. Namun, proses pencarian bangkai pesawat yang lamban membuat harapan itu sirna.
Ia semakin kecewa dengan tidak disediakannya crisis centre bagi pihak keluarga. Personel Band Kerispatih ini kecewa karena keluarga tidak bisa mendapatkan informasi yang jelas soal nasib anggota keluarga mereka. "Mestinya ada crisis centre untuk keluarga korban supaya bisa mendapatkan informasi yang jelas. Karena informasi simpang siur dari Twitter, sms, itu kami bingung mau konfirmasi ke siapa," kata dia.
FEBRIYAN
Berita terkait
Tim SAR Rusia Pagi ini ke Lokasi Sukhoi Jatuh
Komunikasi ATC-Pilot Kunci Petaka Sukhoi
Kasus Sukhoi, ATC Indonesia Minim Alat?
Tim KNKT dan Rusia Investigasi Pengawas Udara
Hari Ini, Badan dan Ekor Sukhoi Diangkat
Jibaku Tim Evakuasi Sukhoi: Tidur di Dinding Jurang
Kasus Sukhoi, Fasilitas Komunikasi Udara RI Belum Mumpuni