TEMPO.CO, Jakarta - Mantan General Manager Air Traffic Service (ATS), Weda Yuwana, membantah bahwa sistem komunikasi udara di Indonesia sudah tidak layak pakai. “Itu tiga tahun lalu, mungkin. sekarang sudah bagus dan tidak ada masalah,” kata Weda kepada Tempo, Sabtu 12 Mei 2012. Weda baru saja pensiun pada awal April lalu dan belum memiliki pengganti.
Sebelumnya pilot Garuda Indonesia Jeffrey Adrian mengatakan beberapa pilot asing pernah mengungkapkan pernyataan mengejutkan. "Kata mereka, terbang di Indonesia seperti di neraka," ujarnya dalam diskusi yang digelar di Jakarta Pusat.
Pilot menyebutnya sebagai neraka karena saat melintasi Indonesia komunikasi antara pesawat dan menara pengawas kerap terganggu. Sinyal radio dan operator telekomunikasi kerap menembus kokpit. (Baca: Pilot: Terbang di Indonesia Seperti Neraka)
"Tak jarang saya mendengar musik dangdut, jazz, dan percakapan dua orang sedang komunikasi via telepon di atas pesawat," ujarnya. Bahkan ia mengaku pernah mendengar phone sex dalam suara yang menyelinap ke alat komunikasi di pesawat.
Penyebabnya adalah banyak pemancar yang mengekspansi cakupan jaringan dengan cara yang tidak semestinya. "Harusnya kan yang ditambah menara pemancar, bukan kekuatan(sinyal)-nya," ujar dia.
Menurut Weda, kejadian seperti itu bukanlah kesalahan alat ATC, tapi Balai Monitoring (Balmont) yang mengurus perizinan frekuensi. Tiga tahun yang lalu belum ada perjanjian kerja sama antara Balmont dan ATC. “Sekarang sudah bekerja sama. Jadi jika ada gangguan langsung bisa dilaporkan ke sana,” ujarnya.
Munculnya suara-suara tersebut juga bukan karena gangguan dari provider dan stasiun radio legal. “Itu karena ada radio gelap. Dengan yang legal tidak ada masalah,” kata Weda. Gangguan kerap terjadi seperti di Indramayu dan Cirebon.
Saat ini, sistem pada Jakarta Automatic Air Transport System (JAATS) sudah diberlakukan secara berlapis dan selalu disiapkan data back up yang dipasang oleh Kementerian Perhubungan. “Jadi sudah dijamin tidak akan ada masalah,” katanya.
Selain infrastruktur, Weda menjelaskan sumber daya manusia yang tersedia juga sudah memadai. “Sudah ideal, kemarin juga baru ada penambahan personel,” Weda berujar. Idealnya, satu orang staf ATC bisa melayani 14 sampai 15 pesawat dalam satu waktu. “Jadi itu tergantung pada kemampuan masing-masing orang. Kan beda-beda,” ujarnya.
Mengenai kemungkinan radar rusak ketika pesawat Sukhoi jatuh, Weda tidak mau berpekulasi. “Investigasinya harus tuntas dulu, bisa karena banyak faktor. Yang pasti sejak tiga tahun lalu infrastruktur kami sudah membaik,” kata Weda.
ELLIZA HAMZAH
Berita Tekait:
Neraka di Langit Indonesia: Seluler dan Sex Phone
Wartawan Antara Peliput Sukhoi Ditemukan Tim SAR
Sempat Ngobrol, Chappy Pastikan Pilot Sukhoi Baik
Pilot Sukhoi Diduga Tak Kuasai Medan
Chappy: ATC Indonesia Sudah Ketinggalan
Investigasi Sukhoi, Antonov Rusia Tiba di Halim