TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar 500 pedagang asongan dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi menyatukan diri dalam wadah Paguyuban Pedagang Asongan Jabodetabek (PPAJ). "Wadah ini diharapkan bisa jadi tempat berkumpul, membicarakan dan mendiskusikan nasib pedagang asongan," kata Ketua PPAJ Ronny Susanto dalam deklarasi di Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu 19 Mei 2012.
Anggota PPAJ tersebar di empat titik Ibu kota yakni Blok M, Slipi, Kampung Rambutan, dan Lebak Bulus, ditambah pedagang asongan Ciputat.
Selama ini, menurut Ronny, pedagang asongan di Jakarta bahkan diperlakukan sebagai anak tiri. Jangankan diberi perlindungan, mereka kerap harus menghadapi penggusuran dan pelarangan berdagang.
Bertepatan dengan momen Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta, Ronny menyuarakan aspirasinya agar gubernur yang terpilih mendatang dapat bersikap sebagai pengayom masyarakat, termasuk para pengasong. "Kami dukung siapa saja yang punya integritas dan kepedulian terhadap rakyat kecil seperti kami," katanya.
Kalaupun penertiban harus dilakukan, ia meminta caranya lebih manusiawi, melalui dialog. Penertiban oleh Satuan Polisi Pamong Praja selama ini memang cukup menjadi momok bagi para pedagang asongan. "Empat tahun berdagang, saya sudah tiga kali ditertibkan," kata Aep, 41 tahun, pengasong di Terminal Kampung Rambutan.
Bila sudah begitu, Aep harus memulai lagi usahanya dari awal: mulai membuat gerobak baru dan mengisinya dengan aneka dagangan.
Dalam sehari, pengasong rokok dan minuman ringan ini mengaku biasa mendapat untung senilai Rp 30-40 ribu. Uang sejumlah itu harus dihematnya agar bisa membiayai sekolah dua anaknya di kampung halaman, Garut.
Aep memang bukan warga Jakarta. Kartu Tanda Penduduknya masih menyebut Kota Dodol, Garut sebagai alamat. Tapi, tanpa modal atau tanah garapan, tak banyak yang bisa dikerjakannya di sana. Maka merantau ke Ibu kota jadi pilihan. "Saya sama teman-teman ini kan bukan maling, jualan juga tidak ganggu, kenapa diusir-usir?" ujarnya.
PINGIT ARIA