TEMPO.CO, Cannes - Para sineas Arab sangat sigap menangkap momentum. Indonesia perlu 10 tahun untuk meluncurkan film pertama tentang reformasi 1998. Para pekerja film di Negeri Padang Pasir sudah menelurkan belasan karya, padahal Musim Semi Arab--gelombang revolusi prodemokrasi yang terjadi di negara-negara Arab--baru memercik pada 17 Desember 2010.
Festival Film Cannes tahun lalu sudah memunculkan sejumlah film Tunisia dan Mesir. Disusul Festival Film Berlin pada Februari lalu, yang juga memberi tempat khusus pada film-film tentang Musim Semi Arab.
Di Festival Cannes tahun ini, yang berlangsung di Cannes, Prancis, hingga 27 Mei 2012, salah satu film jenis itu yang masuk ajang kompetisi adalah Baad el Mawkeaa (Seusai Pertempuran) karya Yousry Nasrallah. Sebagaimana Tamantashar Yom (18 Hari) karya 10 sutradara Mesir yang tampil di Cannes tahun lalu, Baad el Mawkeaa merupakan sebuah drama rekaan yang secara sadar menjadikan Revolusi 18 Hari (25 Januari hingga 11 Februari 2011) di Mesir sebagai latar untuk berbicara persoalan yang lebih luas.
Ceritanya enteng tapi penuh kelokan. Khas dongeng cinta berlatar kejadian besar. Reem, perempuan eksekutif sebuah biro iklan, punya segala hal yang diimpikan perempuan: keren, kaya, maju, energetik, dan berani. Di apartemen chic itu ia hidup sendiri, sembari mengusahakan proses perceraian dengan suaminya, yang juga keren dan maju, tapi tak kunjung mau bercerai.
Sebaliknya dengan Mahmud. Lelaki ini pecundang habis. Tukang kuda miskin ini ringan tangan terhadap anaknya, patriarkis, dan segala predikat lainnya yang bisa dikenakan untuk menggambarkan lelaki jahanam. Lebih dari itu ia cemas karena mendukung rezim Mubarak dalam serangan terhadap para demonstran di Lapangan Tahrir, 2 Februari 2011. Dalam peristiwa itu, sekawanan pendukung Mubarak datang dengan kuda dan unta, menyerang para demonstran, yang menewaskan 11 orang dan melukai 600-an orang.
Di Cannes, tahun lalu, sebuah karya berdasar peristiwa itu, Tahrir 2/2, digarap sutradara perempuan Mesir, Mariam Abou Ouf ("Tribut untuk Revolusi", Majalah Tempo, 6 Juni 2011). Yang menarik, dalam Baad el Mawkeaa, sutradara kawakan Yousri Nasrallah mengambil sudut pandang yang kurang lebih searah dengan sutradara muda Abou Aouf, yakni memberi ruang bersuara pada tokoh "pihak sana".
Reem adalah perempuan muda yang berada di Lapangan Tahrir selama 18 hari itu untuk menumbangkan diktator Husni Mubarak. Mahmud adalah tukang kuda yang menyerang para demonstran secara brutal. Reem sukses, revolusi berhasil, hidupnya sebagai eksekutif juga tiada kurang suatu apa. Sedangkan Mahmud, selain membela rezim jahat yang gagal mempertahankan kekuasaan, juga menuai kesialan berlipat ganda: ia jatuh dari kuda, dipukuli massa, direkam video, dan wajahnya sebagai pecundang beredar di seluruh dunia. Akibatnya, seusai revolusi, ia dijauhi orang dan hidupnya yang sudah sulit jadi semakin sulit.
Secara kebetulan, Reem menyaksikan Mahmud didiskriminasi: ia tak mendapat jatah pakan untuk kudanya karena sebagai warga "tak bersih lingkungan" ia tak dimasukkan dalam daftar tukang kuda penerima pakan kuda gratis. Reem merasa terpanggil berbuat sesuatu.
Tapi, ya, dalam situasi rumit itu mereka sempat berciuman hot di suatu kesempatan. Fatma, istri Mahmud, belakangan tahu, tapi bukannya naik darah, malah menyarankan Reem untuk mengawini suaminya sebagai istri kedua. Itu saran seorang perempuan yang sepertinya secara kultural tradisional dekat pada cara pandang kaum fundamentalis, yang justru jadi lawan perjuangan Reem dan kawan-kawan setelah revolusi.
Di berbagai adegan, sutradara Yousry Nasrallah menampilkan debat panas mengenai tekanan ideologi Islam radikal yang mendapat angin setelah jatuhnya Mubarak. Reem tentu jadi pembicara hebat soal hak-hak perempuan yang harus diperjuangkan melawan kaum radikal di era baru Mesir yang masih rentan itu. Dan Nasrallah mengambil sisi tegas sebagai seniman yang berjuang untuk hak-hak sipil warga Mesir.
Tak mengherankan kalau para pekerja film ini mendapat berbagai tekanan sejak awal proses penggarapan film ini. Saat pengambilan gambar di Lapangan Tahrir di tengah demonsrasi pascarevolusi, kru perempuan film itu dilecehkan para demonstran dari kalangan radikal. Aktris Menna Shalabi, yang berperan sebagai Reem, diteriaki "lonte!". Jadi tak jarang saat syuting mereka memajang judul palsu untuk mengecoh kaum radikal yang mengincar mereka.
Selain perdebatan verbal tentang kebebasan sipil, film ini juga berseberangan dengan kaum radikal soal ihwal "kepatutan". Misalnya, tak ada tokoh penting yang berjilbab di sini. Lebih dari itu, sebuah adegan menampilkan Reem (Menna Chalaby) dan Mahmud (Baseem Samra) dalam adegan ciuman yang eksplisit dan penuh gairah.
Adegan ciuman eksplisit dan kritik terhadap kepicikan tafsir agama di tengah kebangkitan kaum garis keras ini tentu langkah yang penuh risiko. Namun, Nasrallah membuat semua pilihan ini dengan kesadaran penuh. Di dunia Arab, kata Nasrallah, muncul upaya untuk melawan sensor dan tabu-tabu sosial, karena, "Kami tak mau menonton film yang terasa sebagai sebuah penjara." Sebaliknya, mereka ingin "menikmati suatu film yang terasa bebas dan membebaskan kami juga. Dan saya harap inilah definisi tentang sinema Arab masa depan."
Dari segi artistik, Baad el Mawkeaa tak termasuk suatu adikarya. Skenarionya memerlukan proses penajaman lebih jauh. Dialog-dialognya butuh penanganan untuk muncul sebagai percakapan spontan. Pemeranan dan pengadegan perlu sentuhan lebih dalam, lebih kaya, dan lebih meyakinkan. Karena itu Baad el Mawkeaa tampaknya susah bersaing dengan film-film lain dalam memperebutkan hadiah Palem Emas.
Namun pertama-tama Baaad el Mawkea memang merupakan suatu pernyataan politik kaum pekerja film terhadap ancaman kaum karis keras. "Seniman haruslah bebas," kata pemeran utama film ini, Menna Chalaby. "Dan saya siap berjuang untuk itu."
Sejak dulu kaum konservatif sudah menghujat kegiatan film--juga musik dan berbagai bentuk seni lain--sebagai sebuah perbuatan dosa. Apalagi sekarang, sesudah konservatisme mendapat angin setelah jatuhnya Mubarak. "Film ini memang merupakan suatu komitmen politik, sekaligus komitmen terhadap sinema,” kata Yousry Nasrallah.
Selama dua puluh tahun di bawah kediktatoran Husni Mubarak, "Saya membuat sejumlah film yang tidak jelak," kata Nasrallah. Karena itu film ini, yang dibuat dalam keadaan bebas, masuk kompetisi di Cannes, seharusnya “bisa mengirim pesan yang kuat ke seluruh dunia Arab. Tentang sikap untuk tidak tunduk pada kediktatoran. Itulah inti sinema.”
Yang dimaksud Yousry Nasrallah, Menna Chalabby, dan seluruh pekerja film Baad el Mawkeaa, dengan kediktatoran bukan semata kediktatoran militer. Tapi juga kediktatoran kaum padri, para pemuka agama, kaum konservatif yang memaksakan tafsir agama yang sempit.
GING GINANJAR (CANNES)