TEMPO.CO, Jakarta-Jakarta -- Kentucky Fried Chicken (KFC) Indonesia menyatakan sangat peduli terhadap lingkungan. Produk penyajian yang mereka pakai dipastikan meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang sangat minimal.
Salah satu komitmen tersebut ditunjukkan dengan pemakaian piring keramik bagi pelanggan yang menyantap makanan di restoran mereka. Hal ini ditujukan untuk menghindari pemakaian produk sekali pakai.
"Penyajian di restoran tak lagi memakai styrofoam yang sulit terurai di lingkungan," ujar Manajer Hubungan Masyarakat KFC Indonesia, Maman Sudarisman, kepada Tempo, Rabu, 24 Mei 2012. “Kami pakai piring yang bisa dicuci ulang,” katanya.
Demikian pula untuk bahan baku karbohidrat berupa beras. Perusahaan meminta petani di daerah mengembangkan beras organik yang tak memakai pestisida perusak lingkungan. "Kami peduli lingkungan," ujarnya.
KFC Indonesia akan menelusuri tudingan Greenpeace mengenai pemakaian kemasan KFC yang bahan bakunya dari sumber tak ramah lingkungan. Restoran cepat saji ini hanya memakai kemasan jadi dari perusahaan pemasok.
"Kami pelajari terlebih dulu," ujar Brand Manager KFC Indonesia, Novrizal, kepada Tempo kemarin. "Kemasan tersebut kami dapatkan dari pihak ketiga."
Pada Rabu lalu, puluhan aktivis Greenpeace menggelar unjuk rasa di depan kantor pusat perusahaan Yum! Brands di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Mereka menyerukan agar perusahaan induk merek KFC, Pizza Hut, dan Taco Bell tersebut berhenti memakai kemasan berbahan baku dari sumber tak ramah lingkungan.
Seperti diberitakan Koran Tempo kemarin, sumber tak ramah lingkungan yang dimaksud adalah produk kertas yang mengandung serat hutan hujan. Bahan baku ini dipakai oleh Asia Pulp & Paper (APP) milik Grup Sinar Mas yang beroperasi di Perawang, Riau.
Menurut Novrizal, pembelian kemasan dari pihak ketiga lazim dipakai oleh perusahaan-perusahaan lain. Kemasan yang dipakai KFC Indonesia adalah hasil jadi yang didapat dari perusahaan lain.
Maman Sudarisman mengatakan perusahaan pemasok sendiri mengolah kemasan dari kertas yang diproduksi oleh perusahaan pulp tertentu. "Kemasan tidak langsung dari APP," katanya.
Investigasi yang kini dilakukan perusahaannya bertujuan mencari sumber bubur kertas. Investigasi ditargetkan selesai dalam waktu dua-tiga hari mendatang. Hasil penelusuran akan dipakai untuk bahan pertimbangan pemakaian kemasan yang dipakai di 440 gerai yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Jonathan Blum, juru bicara Yum! Brands, mengatakan 60 persen kemasan kertas yang dibeli berasal dari perusahaan yang menerapkan prinsip hutan berkelanjutan. "Penelitian Greenpeace hanya untuk publisitas," ujarnya.
Pendapat senada disampaikan juru bicara KFC Inggris & Irlandia. "Seratus persen kemasan yang kami pakai bisa didaur ulang dan dari sumber yang ramah lingkungan. Tak ada KFC Inggris dan Irlandia ataupun pemasok kami yang bersumber dari APP."
Pihak APP menyebut Greenpeace kembali menyesatkan publik tentang fakta kayu tropis campuran (mixed tropical hardwood/MTH). "Faktanya adalah adanya kandungan MTH dalam suatu produk tidak serta-merta membuktikan bahwa produk tersebut merusak lingkungan," kata Redita Soumi, juru bicara APP, dalam hak jawabnya kepada Koran Tempo.
Sangat mungkin, kata dia, serat MTH tersebut berasal dari sumber yang legal dan berkelanjutan. Menurut dia, hasil penelitian independen yang dilakukan Covey Consulting di Australia tahun lalu menunjukkan serat MTH banyak ditemukan dalam berbagai produk yang telah disertifikasi oleh Forest Steward Council dengan kategori sertifikasi “Sumber Campuran”.
MTH dapat dengan mudah ditemukan di dalam kertas daur ulang, atau bisa juga berasal dari pemanenan kayu yang dilakukan secara legal dan lestari di hutan primer. Serat MTH dapat berasal dari sisa pohon yang diangkut dalam proses pembersihan, di area hutan terdegradasi, hutan bekas tebangan atau terbakar, sebagai bagian dari rencana pembangunan yang berkelanjutan.
Menurut Redita, terkait dengan produk-produk APP, MTH tidak berasal dari penebangan pohon hutan hujan tropis alami di Indonesia. APP, menurut dia, memiliki kebijakan ketat tentang praktek di lapangan untuk memastikan bahwa hanya residu yang berasal dari pengembangan hutan tanaman industri yang dilakukan secara legal di kawasan hutan terdegradasi atau area hutan bekas tebangan, dan serat kayu yang berkelanjutan, yang masuk rantai pasokan produksi APP.
Pekan lalu APP mengumumkan strategi perlindungan lingkungannya dengan mengadopsi prinsip hutan bernilai konservasi tinggi (high conservation value forest) yang diakui secara internasional. "Tujuannya untuk melestarikan lebih banyak lagi sumber daya alam Indonesia," kata Redita.
APP, menurut dia, menyesalkan penyesatan fakta yang dilakukan Greenpeace. "Kami mengimbau agar Greenpeace berhenti menggambarkan Indonesia dan perusahaan terkemuka Indonesia sebagai penjahat dalam usaha melawan perubahan iklim."
ANTON WILLIAM | UNTUNG WIDYANTO