TEMPO.CO, Jakarta - Konflik nuklir Iran dengan negara-negara barat jadi penentu fluktuasi harga minyak dunia. "Seandainya eskalasinya meningkat, dalam arti tidak ada solusi, maka bulan Juli ini ada kemungkinan akan rebound signifikan," ujar Pengamat Energi Kurtubi kepada Tempo, Ahad, 27 Mei 2012.
Jika perundingan antarnegara tak juga menuai solusi, embargo minyak Iran bakal diberlakukan mulai Juli. "Itu berarti suplai minyak dunia sengaja dibuat berkurang dan pasar akan kehilangan suplai dari Iran," ujarnya. Kondisi tersebut akan menyusahkan negara-negara barat. "Ini akan memicu kepanikan konsumen, trader, pelaku usaha yang kemudian berdampak negatif pada negara-negara barat," kata Kurtubi.
Tetapi, ia melanjutkan, jika konflik mereda maka harga minyak bakal terus tertekan. Ia memprediksi, harga minyak mentah bisa turun ke kisaran US$ 80an (Rp 740 ribu) per barel.
Harga minyak mentah/light sweet crude oil (WTI) untuk Juli 2012 terpantau terus turun. Setelah sempat melewati US$ 106 per barel pada awal Mei 2012, hari ini minyak diperdagangkan dengan US$ 90,70 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah untuk Agustus 2012 terpantau berada di level US$ 91,03 setelah sempat diperdagangkan di atas US$ 106 per barel pada awal Mei.
Menurut data terakhir Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil/ICP) US$ 124,63 (Rp 1,15 juta) per barel pada April. Sepanjang tahun ini, harga ICP tertinggi tercatat terjadi pada Maret 2012. Rata-rata ICP mencapai US$ 128,14 per barel, melonjak dari rata-rata harga di Januari US$ 115,91 per barel dan Februari US$ 122,17 per barel.
Kurtubi menilai fluktuasi harga minyak seperti sekarang masih akan bertahan lama. Sebab masalah nuklir Iran sudah bertahun-tahun dan belum juga ada penyelesaian. "Kalau mau realistis, sulit ada penyelesaian perdamaian yang langgeng," Ia menguraikan. Harga minyak mentah mungkin akan berkisar US$ 85-100 per barel, dan minyak brand lebih tinggi. Minyak Indonesia , kata dia, cenderung ikut brand.
Melihat kondisi ini, Kurtubi menilai diversifikasi energi sebagai langkah mendesak untuk mengurangi ketergantungan dalam negeri dengan bahan bakar minyak. "Indonesia harus mengurangi penggunaan BBM dengan pindah ke non-BBM, yakni gas," ujarnya. "Infrastrukturnya harus dikebut. Kalau angkutan umum dulu saja yang pindah ke gas, harga lebih murah. BBM bisa dihemat, tanpa ada ancaman inflasi," kata dia menambahkan.
MARTHA THERTINA