TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat perminyakan, Kurtubi, berpendapat bahan bakar minyak bersubsidi berdasarkan kuota tak perlu dilakukan. "Itu menghilangkan hak rakyat dan toh setiap tahun realisasinya selalu lebih tinggi daripada kuota," ujarnya.
Kurtubi menyebutkan kebijakan pembatasan penggunaan BBM melalui kuota yang telah berjalan bertahun-tahun tak rasional. Kebijakan tersebut malah berdampak negatif bagi perekonomian. "Pemerintah harus membuat kebijakan energi dan BBM yang rasional sehingga bisa menekan subsidi BBM tanpa mengorbankan kegiatan masyarakat dan tanpa ada risiko inflasi," ucapnya.
Kebijakan yang paling pas, menurut Kurtubi, adalah menekan penggunaan BBM dengan beralih ke bahan bakar gas. Karena itu, infrastruktur bahan bakar gas harus dikebut. “Angkutan umum dulu saja yang pindah ke BBG, harga lebih murah. BBM bisa dihemat, tanpa ada ancaman inflasi," kata dia.
Selama diversifikasi belum terealisasi, pemerintah harus memenuhi semua kebutuhan BBM. Kurtubi menilai ada beberapa cara untuk menutup beban subsidi BBM. Pertama, meningkatkan pendapatan negara di sektor minyak dan gas bumi. Kedua, efisiensi impor minyak dari semula melewati pedagang menjadi langsung ke produsen. "Pasti lebih murah, 2 persen saja dipangkas, penghematan bisa Rp 70 triliun," ucap dia. Ketiga, pemerintah membenahi pengelolaan cost recovery.
Atas dasar perhitungan itu, Kurtubi yakin anggaran negara masih aman, meski pemerintah memenuhi BBM rakyat. Kurtubi menyayangkan terjadinya masalah kelangkaan BBM di Kalimantan. "BBM bukannya tidak ada. Ada di storage Pertamina, tapi dibatasi sesuai dengan kuota,” ucap dia.
MARTHA THERTINA