TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Umum juru kamera Jurnalis Indonesia menyatakan mutu liputan juru kamera Indonesia lebih rendah dibandingkan juru kamera negara lain. “Ini akibat gaji juru kamera Indonesia terbilang kecil,” kata Andi saat ditemui dalam seminar Diskusi Video Jurnalis Bersama Juru Kamera Jurnalis Indonesia di Universitas Al Azhar Indonesia Senin, 28 Mei 2012.
Andi mengatakan rendahnya mutu juru kamera Indonesia juga akibat sedikitnya program pelatihan dari stasiun televisi. Padahal, menurutnya mutu gambar bukan sesuatu yang sulit didapat dari seorang juru kamera. Ia menjelaskan asal ada pelatihan yang memadai maka mutu kualitas gambar liputan dapat menyamai mutu kualitas gambar juru kamera asing.
Untuk meningkatkan mutu hasil liputan juru kamera, maka Andi menyarankan agar gaji juru kamera dinaikkan. “Angka ini sesuai dengan beban kerja mereka setiap harinya,” kata pria yang juga produser senior dan sekaligus juru kamera Associated Press ini.
Sementara itu, rata-rata pendapatan juru kamera pada stasiun televisi Indonesia berkisar Rp 2 juta per bulan. Sangat jauh dibandingkan dengan juru kamera Indonesia yang bekerja pada stasiun televisi asing yang menurut Andi bisa mendapat gaji hingga Rp 20 juta rupiah per bulan.
“Ini yang menyebabkan mereka tidak bekerja dengan beretika seperti juru kamera di negara lain,” kata dia. Ia menjelaskan banyak juru kamera Indonesia yang tidak mematuhi kode etik yang telah disusun Dewan Pers Indonesia saat meliput. Hal ini menurut dia akan mempengaruhi kualitas liputan yang dihasilkannya.
Selain masalah etika kerja, Andi mengatakan, etos kerja juru kamera Indonesia juga masih kalah jauh dengan etos kerja juru kamera asing. Mereka lebih banyak mengejar kuantitas gambar dibandingkan dengan kualitasnya. Akhirnya, kata dia, kualitas gambar yang dihasilkan juga banyak yang tidak memuaskan. Sebab, yang mereka kerjakan tidak sebanding apa yang mereka dapatkan.
Rendahnya gaji juru kamera dituding Andi disebabkan oleh tidak adanya standar gaji juru kamera secara nasional. Akibatnya, kata dia, stasiun televisi yang mempekerjakan juru kamera jurnalis menggaji mereka dengan rendah.
“Stasiun televisi akan berkata, silakan keluar jika tidak cocok dengan gaji yang kami berikan. Masih banyak juru kamera lain yang bersedia bekerja dengan standar gaji kami,” kata Andi. Fenomena ini diindikasikan Andi sebagai hilangnya idealisme stasiun televisi. Stasiun televisi tersebut hanya menghitung keuntungan saja tanpa melihat kualitas tayangan yang mereka hasilkan.
RAFIKA AULIA