TEMPO.CO, Surabaya - Sunarno Edi Wibowo, salah seorang pengacara yang mengajukan gugatan pra-peradilan terhadap surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus semburan lumpur Lapindo, berharap Mahkamah Agung bersikap jernih dalam memutuskan perkara tersebut. “Kami tetap berkeyakinan SP3 tersebut keliru,” kata Sunarno kepada Tempo, Selasa, 29 Mei 2012.
SP3 kasus semburan lumpur Lapindo dikeluarkan Kepolisian Daerah Jawa Timur, 5 Agustus 2008, dengan tanda tangan Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur saat itu, Komisaris Besar Edi Supriyadi.
Meski menyadari kuatnya intervensi kekuasaan dalam kasus lumpur Lapindo, Sunarno tetap berkeyakinan semburan lumpur disebabkan oleh kesalahan manusia. Karena itu, Polda Jawa Timur dinilai tidak tepat mengeluarkan SP3.
Polda Jawa Timur, kata Sunarno, seharusnya tetap melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur bersama penyerahan barang bukti dan tersangka. Apalagi Polda sudah berkeyakinan bahwa terjadinya semburan lumpur karena kesalahan manusia. Dalam penyidikannya, Polda telah memeriksa 60 saksi, termasuk ahli geologi.
Kalau memang Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang berkukuh menyatakan berkas perkara tidak cukup kuat, maka seharusnya Kejaksaan sebagai penuntut umum yang menentukan apakah perkara tersebut bisa diteruskan penuntutannya ke pengadilan atau tidak. Kejaksaan-lah yang mengeluarkan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) jika memang Kejaksaan menilai perkara itu tidak cukup kuat untuk dilimpahkan ke pengadilan.
Menurut Sunarno, melalui mekanisme hukum seperti itu, bukan saja kepastian hukum yang dicapai, masyarakat juga akan mengetahui Polda atau Kejaksaan Tinggi yang tidak berniat melanjutkan perkara tersebut ke pengadilan. “Tapi semua pihak sudah bisa menduga kepolisian dan Kejaksaan sama-sama mencari selamat ketimbang menaati prosedur hukum, yakni melanjutkan perkara ke pengadilan,” ujar Sunarno memaparkan latar belakang pengajuan gugatan pra-peradilan.
Gugatan pra-peradilan terhadap SP3 tersebut semula diajukan Sunarno melalui Pengadilan Negeri Sidoarjo, awal 2010. Namun ditolak karena alasan locus delicti Polda Jawa Timur sebagai tergugat berada di Surabaya. Gugatan kemudian didaftarkan di Pengadilan Negeri Surabaya Maret 2010 dengan nomor registrasi Nomor 06-Praper/PN-SBY/2010.
Namun majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya hingga Pengadilan Tinggi Jawa Timur menolak gugatan tersebut sehingga Sunarno mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. “Saya masih menunggu putusan MA,” kata Sunarno.
JALIL HAKIM