TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Hendrayana menyatakan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik tidak seharusnya dikenakan kepada Khoe Seng Seng. “Pasal pencemaran nama baik sudah ketinggalan zaman,” kata Hendrayana dalam diskusi publik "Kriminalisasi Surat Pembaca Membungkam Ekspresi Masyarakat", Selasa, 29 Mei 2012.
Hendrayana menjelaskan, dalam perkara Khoe Seng Seng, majelis hakim tidak memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk memberikan pembuktian.
Pada akhir November 2006, Khoe Seng Seng menulis dua pucuk surat pembaca yang dimuat di harian Kompas dan koran Suara Pembaruan. Isinya mempertanyakan ketidakjelasan status tanah ruko yang dibelinya di ITC Mangga Dua dari PT Duta Pertiwi, anak perusahaan Sinar Mas Grup. Khoe Seng Seng merasa dirugikan karena status tanahnya bukan hak milik sebagaimana dijanjikan ketika jual-beli.
Surat pembaca itu berbuntut panjang. PT Duta Pertiwi mengadukan Khoe Seng Seng ke polisi dan menggugatnya secara perdata. Pedagang suvenir pernikahan ini diminta membayar ganti rugi hingga Rp 1 miliar. Dalam proses hukum tersebut, Khoe Seng Seng didampingi LBH Pers.
Khoe Seng Seng menyatakan, tahun 2007, ia diperiksa Polda Metro Jaya dan langsung ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, dalam pemeriksaan tersebut, masih ada kesalahan dalam pengejaan nama. Karena merasa tidak bersalah, Khoe Seng Seng memenuhi panggilan pemeriksaan itu. Khoe Seng Seng menuturkan, setelah penyidikan dilakukan, polisi menyatakan tidak ada penipuan yang dilakukan PT Duta Pertiwi.
Vonis final sudah diketuk. Majelis hakim Mahkamah Agung yang terdiri dari Mugiharjo, Suryajaya, dan Salman Luthan, menilainya bersalah. Khoe Seng Seng dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan enam bulan.
Hendrayana menyatakan kasus Khoe Seng Seng bisa menjadi preseden buruk bagi masyarakat. Ia membandingkan dengan kondisi di Amerika Serikat, di mana pemerintahnya memberikan perlindungan kepada konsumen melalui undang-undang. Hendrayana mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki undang-undang serupa, namun penegakannya masih lemah.
Terkait surat pembaca yang ditulis Khoe Seng Seng, Hendrayana menyatakan surat pembaca menjadi tanggung jawab redaksi. Opini Khoe Seng Seng pun dipandang Hendrayana dapat dibenarkan dalam pers karena disertai data. Hendrayana juga menuturkan hak jawab PT Duta Pertiwi telah dimuat. “Jadi seharusnya semuanya sudah selesai,” ujar Hendrayana.
MARIA YUNIAR