TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksaan Keuangan menilai ada beberapa kelemahan sistem pengendalian internal dalam Laporan Keuangan Pemerintahan Pusat (LKPP) tahun 2011. Menurut Ketua BPK Hadi Purnomo, masalah yang paling penting ialah inkonsistensi penggunaan tarif pajak sektor minyak dan gas sehingga negara kehilangan penerimaan sebesar Rp 2,35 triliun.
"Ada inkonsistensi dalam pajak penghasilan (Pph) dan perhitungan bagi hasil industri minyak dan gas," kata dia di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa, 29 Mei 2012.
Hadi juga menilai pengelolaan PPh Migas tak optimal sehingga penerimaan berikut sanksi administrasi senilai Rp 747,08 miliar tak dapat direalisasikan. BPK pun memberi rekomendasi pada pemerintah agar mengupayakan amandemen kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) serta perubahan penetapan pungutan pajak terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) Migas.
"Pemerintah juga harus menetapkan aturan mengenai pembagian kewenangan antar-instansi serta menagih kewajiban tersebut," katanya.
Di luar soal Migas, BPK juga memberi catatan pada berlarutnya penerapan peraturan pemerintah mengenai Penyertaan Modal Negara (PMN) atas Bantuan Pemerintah yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS). Karena tak juga ditetapkan, metode penetapan nilai pajaknya bisa berbeda dengan nilai penyerahan awal. Karena itu, BPK memberi rekomendasi pada pemerintah agar memperbaiki kebijakan perencanaan, penganggaran, dan penetapan BPYBDS sebagai PMN.
Masalah terakhir yang disoroti BPK ialah tak teraturnya pengelolaan aset milik negara. Hadi mengatakan hal ini menunjukkan bahwa kinerja Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan belum optimal. "Pemerintah harus memacu kinerja mereka dalam pencatatan dan pengelolaan aset tetap," ujarnya.
NUR ALFIYAH | MOHAMMAD ANDI PERDANA