TEMPO.CO, Bandung - Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dr Surono, mengungkapkan peristiwa amblesnya tanah dan rusaknya rumah warga di Desa Hambalang, Citeureup, Bogor, Jawa Barat, pernah terjadi pada 2002 lalu.
”Saya inget dulu, rasanya saya memimpin sendiri (pemeriksaan di sana), karena gerakan tanahnya luas sekali,” kata dia melalui ponsel, Rabu, 30 Mei 2012.
Surono menuturkan bencana alam akibat gerakan tanah pernah terjadi pada 1 Februari 2002 lalu di Desa Hambalang. Saat itu dia menjabat Kepala Subdirektorat Gerakan Tanah di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Daerah yang terkena dampak luasnya mencapai 3,5 hektare. ”Karena sangat luasnya, jadi tidak saya periksa semua,” kata dia.
Laporan yang diterimanya, gerakan tanah itu mengakibatkan 74 rumah rusak berat, 99 rumah rusak ringan di Desa Hambalang, lalu di Tajur Tapos ada 29 rumah rusak berat, dan 36 rumah rusak ringan. ”Gerakan tanah Hambalang ini mencapai luasan sekitar 3,5 hektare saat itu. Oleh karena itu, tidak kami periksa semua karena luasnya itu,” kata Surono.
Dia masih mengingat gerakan tanah desa itu pada 2002 lalu sempat mengakibatkan tanah ambles hingga kedalaman tiga meter. Lalu sempat ditemukan terjadi retakan-retakan dengan lebar bervariasi antara lima sampai 10 sentimeter dengan panjang retakannya berkisar antara 75 meter hingga 150 meter. ”Saat itu permukiman parah sekali, retak-retak di tembok maupun lantainya,” kata Surono.
Surono menjelaskan retakan dan amblesan itu dipicu oleh gerakan tanah. Penyebabnya, terdapat lapisan batu lempung dari Formasi Jatiluhur di bagian dasar tanah di Desa Hambalang. Sifat lapisan tanah batu lempung itu, jika terkena panas akan pecah dan kena air akan mengembang serta licin. ”Kalau batu lempung ini mudah berkembang, jadi licin kalau kena air, sehingga lapisan tanah di atasnya mudah bergerak,” kata dia.
Kala itu, PVMBG sudah merampungkan peta potensi gerakan tanah untuk wilayah itu. Dalam peta itu, Desa Hambalang, Citeureup, Bogor, termasuk Zona Kerentanan Gerakan Tanah Menengah hingga Tinggi. Dari temuannya, PVMBG menerbitkan rekomendasi untuk Camat Citeureup dan Bupati Bogor pada 21 Februari 2002 lalu. Sejumlah rekomendasi itu antara lain memindahkan permukiman warga serta saran untuk mengubah sawah menjadi pertanian lahan kering.
Surono mengatakan daerah yang masuk kategori kawasan rawan gerakan tanah bukan berarti dilarang untuk dibangun. Hanya, kata dia, membangun di lahan semacam itu butuh penyesuaian konstruksi. Dia mencontohkan sejumlah proyek konstruksi yang melibas daerah rawan gerakan tanah, di antaranya jalan tol Cipularang di Kilometer 92 yang terhitung berhasil meredam aktivitas gerakan tanah yang mirip dengan yang terjadi di Hambalang itu.
AHMAD FIKRI