TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Herry Purnomo, mengatakan tren penurunan harga minyak mentah dunia bukan berarti neraca keuangan negara serta-merta membaik. Meskipun ada kecenderungan harga terkoreksi, bukan tak mungkin akan kembali melonjak pada semester kedua nanti. "Pemerintah harus menghitung secara rata-rata, tak bisa dari tren," kata Herry di Jakarta, Kamis, 31 Mei 2012.
Penurunan harga ini justru dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian terhadap anggaran negara. Di satu sisi, beban subsidi akan menurun, tapi di sisi lain pendapatan negara dari minyak pun menyusut.
Herry menambahkan, ketidakpastian juga dipicu oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Karena itu, kata dia, pemerintah tak bisa menghitung secara parsial. "Harga minyak turun, tapi kurs naik. Nanti efeknya bagaimana?" Ia tak mau berspekulasi menyebut kondisi ini menguntungkan atau merugikan pemerintah. "Yang pasti akan kami kaji terus."
Harga minyak global menunjukkan tren penurunan. Harga untuk kontrak bulan Juli, misalnya, turun US$ 2,9 (3,2 persen) dan ditutup pada level US$ 87,82 per barel. Harga minyak telah turun 21,5 persen dari level tertinggi dalam setahun terakhir yang pernah dicapai pada Maret 2012 lalu di posisi US$ 111,49 per barel.
Penurunan ini disebabkan menguatnya dolar Amerika Serikat terhadap mata uang negara lain. Penyebab lainnya, kekhawatiran atas kondisi di Spanyol dan belum adanya sinyal stimulus ekonomi di Asia, terutama Cina.
Wakil Menteri Keuangan Anny Rahmawati menyatakan keuangan negara memang masih perlu dikaji. Sambil menunggu langkah yang akan dilakukan, ia mengimbau seluruh elemen pemerintah untuk berhemat. "Belanja yang betul dan efisienkan anggaran," ujarnya.
M. ANDI PERDANA