TEMPO.CO, Cisarua -- Jarum jam menunjukkan pukul 11 malam. Jalanan di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang biasa macet mulai lengang. Suasana salah satu warung Internet di depan rumah makan Pondok Indah, Cisarua, itu justru riuh. Puluhan imigran sibuk di depan komputer. "Semua rental Internet di sini penuh pada malam hari," ujar Mustafa, pemuda 20 tahun asal Kabul, Afganistan, awal Mei lalu.
Sebagian besar imigran berstatus ilegal itu tidur pada siang hari, lalu begadang di warung Internet hingga pagi hari. Malam hari dipilih untuk menghindari razia petugas imigrasi. Mereka memanfaatkan jaringan Internet buat berkomunikasi dengan keluarga, baik di negara asal maupun yang telah berhasil ke Australia.
Di warung Internet ini pula para imigran sibuk mencari informasi buat menyeberang ke Australia. “Kami mencari ada kapal yang berangkat atau tidak,” kata Mustafa.
Di mata para imigran, tawaran yang disodorkan para penyelundup lebih nyata ketimbang status pengungsi yang diperoleh dari UNHCR. “Mereka merasa status pengungsi bukan jaminan bisa segera berangkat ke negara ketiga,” kata Dave Lumenta, dosen antropologi Universitas Indonesia, yang dua tahun lalu ikut meneliti kasus penyelundupan manusia ke Australia. Itu sebabnya para imigran yang berstatus pengungsi juga memburu informasi seputar kapal yang berangkat ke Australia. Tak aneh bila penyelundup seperti Hasan, bukan nama sebenarnya, mudah menjaring mangsa di Cisarua.
Di kawasan itu, Hasan membangun jejaringnya. Ia memiliki sejumlah mitra dari suku Hazara, di antaranya Muhammad Ali Jafari dan Mohammad Ali Cote. Ia juga merangkul penyelundup asal Iran, seperti Ali Bogor dan Mohammad Jawad.
Hasan berhasil memadukan karakter penyelundup Hazara dan Iran. Penyelundup Hazara, terutama yang dari Quetta, terkenal berpengalaman dan memiliki jaringan hingga ke agen lokal. Mereka tak lain warga Indonesia yang ikut membantu penyelundupan, terutama buat pengadaan kapal dan sebagai awak kapal.
Mereka menerapkan model pembayaran di belakang. ”Imigran bayar uang muka yang jumlahnya hanya cukup untuk beli persediaan makan dan pelampung di kapal,” ujar sumber Tempo yang dekat dengan jaringan Hasan tersebut. Uang baru bisa dicairkan bila imigran yang mereka berangkatkan berhasil ke Australia. Padahal biaya perahu sekaligus awak kapal bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Di sinilah kerja sama dengan penyelundup Iran menjadi penting. Imigran Iran datang dari kalangan ekonomi menengah-atas. Mereka bersedia membayar mahal dan mau merogoh duit di depan. ”Mereka diberangkatkan dalam satu perahu dengan imigran Hazara,” ucap sumber tadi. Uang dari imigran Iran inilah yang dipakai buat menambal biaya operasional mengarungi Samudra Hindia.
Ikuti laporan lengkap wajah sindikat penyelundup manusia di Majalah Tempo pekan ini.
TIM TEMPO
Berita terkait
Sindikat Penyelundup Manusia Beroperasi di Cisarua
Menelusuri Sindikat Manusia Perahu
Jalur Tikus Manusia Perahu Sampai ke Indonesia
17 Imigran Gelap Tertangkap di Kuta
Polisi Tangkap 51 Imigran Timur Tengah
Penanganan Kasus Imigran Gelap Dinilai Tebang Pilih