TEMPO.CO, Jakarta - Jika tak menempuh jalur ilegal, perjalanan seorang pencari suaka sungguh panjang dan berliku. Seorang calon pencari suaka harus mendaftar lebih dulu ke kantor Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) terdekat. Di Jakarta, kantor UNHCR ada di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Dari sana, imigran gelap harus menunggu proses seleksi. Para petugas UNHCR-lah yang akan menentukan apakah imigran bisa digolongkan sebagai pencari suaka (asylum seeker) atau tidak. Setelah itu, masih perlu waktu lagi untuk mendapat status pengungsi (refugee). Tak ada patokan baku berapa lama proses seleksi ini berlangsung.
Di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ada pencari suaka yang sudah sembilan tahun menunggu. Ada yang lebih lama. “Kami tak bisa menentukan. Itu sepenuhnya diputuskan oleh negara penerima,” kata Associate External Relation and Public Information Officer UNHCR, Mitra Salima Suryono.
Enggan menanti, banyak imigran akhirnya nekat berburu takdirnya sendiri. Mereka menghubungi agen-agen penyelundup yang bisa membawa mereka ke Australia. Begitu masuk wilayah negara itu, mereka berhak mengurus visa untuk menetap di sana (permanent resident).
“Tak ada perbedaan antara pengungsi yang datang dan perahu dan pesawat. Semua bisa mengurus visa untuk tinggal,” ujar Ian Rintoul, pengacara yang biasa mendampingi para pencari suaka di Sydney, Australia.
Setelah visa di tangan, pekerjaan sudah menanti. “Mereka bisa menjadi sopir taksi, buruh bangunan, atau tukang kebun,” kata Ian yang juga aktivis Refugee Action Collective. Kalau masih menganggur, jangan khawatir, ada dana tunjangan sosial Rp 12 juta per bulan.
Dengan iming-iming kehidupan sejahtera macam itu, Mehdi Alizami, pengungsi 34 tahun asal Iran yang keluar masuk rumah detensi, tak ragu menyabung nyawa. Melompati tembok, menembus terowongan, menumpang perahu-perahu kayu yang rawan karam. Semuanya demi sebuah garis nasib baru.
Ikuti laporan lengkap wajah sindikat penyelundup manusia di majalah Tempo pekan ini.
TIM INVESTIGASI