TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Thamrin Sihite, menyatakan soal gugatan Churchill ke Badan Arbitrase Internasional kini di bawah wewenang dam arahan Kejaksaan Agung serta Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
"Itu sudah dibawa ke Kemenpolhukan dan Jaksa Agung, kami memfasilitasi saja," ujar Thamrin, Rabu, 20 Juni 2012.
Thamrin menuturkan soal sengketa lahan antara Churchill dan PT Nusantara Group ini sebenarnya lebih pada urusan penerbitan izin oleh Bupati. Bupati seharusnya menjadi pihak yang lebih bertanggung jawab dan dapat memberikan alasan yang berdasar dalam penyelesaian proses hukum.
Ia mengaku hingga saat ini belum pernah sekali pun bertemu dengan pihak Churchill untuk membahas masalah ini. Pemerintah baru tahu soal keberadaan Churchill di sini setelah timbul sengketa. Padahal jika ada perusahaan asing yang masuk dan mengakuisisi perusahaan dalam negeri, seharusnya sudah melapor ke pemerintah pusat.
Soal izin yang sebelumnya diberikan pemerintah daerah kepada PT Ridlatama, yang kemudian diakuisisi oleh Churchill, juga menimbulkan masalah. "Kalau dilihat ini kan tidak benar. Pemerintah kasih izin ke perusahaan dalam negeri tapi ternyata diberikan lagi ke perusahaan asing. Ibarat selingkuh," kata dia.
Kasus Churchill Mining sendiri telah masuk ke ranah hukum sejak 2010. Saat itu Churchill memasukkan gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda atas surat pembatalan IUP yang dikeluarkan oleh Bupati Isran Noor. Hasil Putusan PTUN Samarinda memutuskan bahwa pembatalan izin tersebut sudah sesuai dengan prosedur.
Tidak terima dengan putusan tata usaha negara di tingkat pertama, Churchill pun mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta pada Agustus 2011. Putusan Pengadilan Tinggi tersebut pun masih serupa dengan putusan sebelumnya, begitu pula dengan proses Kasasi di Mahkamah Agung.
Obyek sengketa tersebut adalah area konsesi seluas sekitar 35 ribu hektare di Kecamatan Busang, Muara Wahau, Telen, dan Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Lahan tersebut sebelumnya dikuasai oleh Grup Nusantara yang berakhir pada 2006-2007. Setelah itu lahan dikuasai oleh PT Ridlatama yang kemudian diakuisisi oleh Chucrhill.
GUSTIDHA BUDIARTIE